Denpasar (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali dan Pemprov Bali mulai kerja sama untuk menerapkan Pidana Kerja Sosial sebagai sistem peradilan pidana yang lebih humanis dan restoratif.
Kepala Kejati Bali Chatarina Muliana di Denpasar, Rabu, mengatakan langkah ini dilakukan agar pelaku tindak pidana ringan di bawah 5 tahun dapat lebih produktif dan bermanfaat di masyarakat, ini juga telah diatur dalam KUHP baru yang berlaku mulai 2026.
“Pidana Kerja Sosial memberikan peluang bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya sambil menghasilkan manfaat bagi masyarakat serta mengurangi beban pidana yang murni, yang bersifat retributif,” kata dia.
Chatarina menjelaskan, dalam kerja sama ini Kejati Bali bertanggung jawab memastikan penerapan hukum yang adil dan konsisten, sementara Pemprov Bali memfasilitasi pelaksanaan teknis, pembinaan, dan penyediaan sarana serta kesempatan kerja sosial yang aman dan bermanfaat.
Ia melihat ada beberapa hal penting dalam program Pidana Kerja Sosial ini, mulai dari memastikan setiap tahap dari penetapan putusan, penugasan, pelaksanaan, hingga pelaporan memiliki mekanisme administratif yang jelas dan terdokumentasi sehingga mudah diaudit.
Kedua, pelaksanaan kerja sosial harus menjunjung martabat pelaku, disertai pembinaan yang mendorong perubahan sikap, bukan eksploitasi atau stigma.
Ketiga, lokasi dan jenis kerja sosial harus diiris sedemikian rupa sehingga hasilnya memberi nilai tambah kepada komunitas penerima, seperti perbaikan fasilitas umum, kegiatan lingkungan, dan pelayanan sosial yang terasa manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Keempat, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat setempat harus dilibatkan aktif, seperti menyediakan lokasi, pembinaan teknis, serta pengawasan sosial sehingga program berjalan efektif dan diterima oleh masyarakat.
Kelima semua sumber daya, material, dan penugasan harus dipertanggungjawabkan secara terbuka, dimana seluruh unsur yang terlibat saling mengevaluasi dan memonitor.
Atas kerja sama ini, Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan Pemprov Bali dan kabupaten/kota siap ambil bagian, apalagi penindakan melalui kerja sosial sudah kerap dijalankan desa adat terhadap tindakan melanggar di desa adat setempat.
“Desa adat di Bali ini punya sistem hukum, dia punya wilayah, punya rakyat, punya sistem pemerintahan, punya aturan dinamakan awig-awig kalau negara itu seperti undang-undang dan ada pararem atau seperti PP, perpres, peraturan menteri,” kata Koster.
“Jadi kalau ada putusan kena sanksi sosial di desa adatnya, bentuknya macam-macam ada yang tugasnya bersih-bersih selama sekian bulan di pura, ada yang dikenakan hukuman setor beras sekian kwintal, tergantung jenis hukumannya,” sambungnya.
Dengan Pidana Kerja Sosial maka langkah restoratif diutamakan dan mengurangi padatnya lapas yang saat ini keterisiannya melebihi 100 persen.
Gubernur Koster mengaku akan ikut membantu dalam merumuskan kerja sosial yang bisa dijalankan pelaku pidana nanti, apalagi ia memahami kearifan lokal yang ada.
“Saya juga mau ikut dalam tim, jadi mungkin nanti kerjanya macam-macam, ada bersihkan pura, sungai yang kotor, bersihkan Danau Batur yang lagi rusak, atau kalau dia punya talenta mungkin nanti kerajinan membuat produk kreatif UMKM, bagus ini, menurut saya ini punya nilai kemanusiaan,” ujarnya.
Dalam program ini, BUMN penjaminan kredit PT Jaminan Kredit Indonesia (PT Jamkrindo) ikut ambil bagian dalam memberikan pelatihan bagi pelaku pidana yang mengambil program ini.
“Kontribusi Jamkrindo dilakukan melalui upaya memberikan dukungan pelatihan, pendampingan usaha serta kegiatan lain sesuai dengan pilar tanggung jawab sosial dan lingkungan dan Asta Cita pemerintah khususnya pada aspek pengembangan sumber daya manusia,” kata Direktur Manajemen SDM, Umum dan Manajemen Risiko Jamkrindo Ivan Soeparno.
Ivan melihat Pidana Kerja Sosial memiliki nilai sosial yang tinggi, dimana pelaksanaan pidana dilakukan dengan pemulihan hubungan dan keseimbangan sosial yang rusak akibat tindak pidana, bukan semata-mata pada pemberian hukuman kepada pelaku, sehingga pihaknya berkomitmen untuk membantu langkah pemerintah.
“Pelaksanaan keadilan restoratif membutuhkan dukungan dari banyak kalangan, termasuk dukungan bagi para pelaku yang menjalani kerja sosial untuk mendapatkan keterampilan produktif sebagai bekal untuk membuka usaha dan melanjutkan hubungan bermasyarakat setelah menjalani hukuman,” ujarnya.
Selain berkolaborasi dengan memberikan pelatihan kepada para pelaku yang menjalani pidana, ia juga mendorong kerja sama yang berkelanjutan dengan Pemprov Bali serta seluruh kota/kabupaten pada penjaminan barang dan jasa pemerintah.
