Denpasar (ANTARA) - Di sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali, sebanyak 1.493 desa adat hingga saat ini masih berdiri kokoh.
Desa adat tetap eksis sebab memiliki peran yang besar, mulai dari melestarikan dan melindungi adat istiadat serta budaya Bali, mendukung pemerintah dalam melancarkan pembangunan di desa adat, hingga menjadi fasilitator dalam menyelesaikan sengketa adat yang berkaitan dengan hukum adat yang berlaku.
Di desa adat berdasarkan Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 terdapat struktur lembaga seperti prajuru, sabha desa, kerta desa, dan banjar suka duka.
Kerta desa yang bertugas menyelesaikan sengketa adat memiliki keterbatasan ketika banyaknya perkara hukum umum yang terjadi di masyarakat yang di luar kewenangannya.
Pada akhirnya perkara-perkara tersebut dilaporkan masyarakat ke lembaga penegak hukum, yang berujung menumpuknya kasus-kasus di lembaga formil.
Kejaksaan Tinggi Bali kemudian berinisiatif menghadirkan lembaga yang bisa menjadi fasilitator untuk perkara hukum umum dan pidana atau perdata ringan di masyarakat dengan mendorong penyelesaian dengan cara restoratif.
Setelah mendengar penjelasan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali I Ketut Sumadana, Gubernur Bali Wayan Koster sepakat dengan mempercepat pembentukan payung hukum bagi lembaga tersebut.
Bale Kerta Adhyaksa menjadi nama yang dipilih untuk lembaga yang akan ditempatkan di seluruh wewidangan atau lingkup desa adat di Bali.
Ini akan menjadi ruang baru untuk menyelesaikan konflik tanpa lari ke pengadilan.
Mempercepat Pembentukan Payung Hukum
Setelah beberapa kali kejaksaan melakukan sosialisasi dan uji coba di kabupaten/kota, mulailah Pemprov Bali mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Bale Kerta Adhyaksa sebagai penguat pembentukan lembaga.
Pada Rabu, 6 Agustus 2025, di Denpasar, Gubernur Bali menyampaikan penjelasan raperda ini kepada DPRD Bali.
Raperda ini didasari oleh penerapan hukum dan peningkatan keadilan yang dirasa belum sepenuhnya berjalan baik di Bali.
Pemerintah daerah melihat ini karena faktor kesenjangan keadilan dan pendekatan hukum yang masih jauh dari nilai-nilai humanis.
Lalu, dengan hadirnya Bale Kerta Adhyaksa ada jembatan untuk hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum positif sebagai ruang dialog atau forum musyawarah di tingkat desa adat.
Sebagai wadah mediasi maka forum ini bertugas menyelesaikan perkara dengan tujuan perdamaian dan pemulihan hubungan tanpa melalui proses peradilan formal.
Merasa usulan Kajati Bali sudah baik, dalam pertemuan pertama dengan dewan, gubernur percaya diri meminta dewan menyelesaikan peraturan ini secepat-cepatnya.
Bergulir dengan cepat, esok harinya DPRD Bali mulai melakukan rapat pembahasan dengan seluruh komisi.
Berdasarkan data Kejaksaan Tinggi Bali yang dihadirkan dalam pembahasan, dalam setahun negara menghabiskan Rp4 triliun untuk pembinaan narapidana dan jika dikalkulasi dengan biaya perkara, penyidikan, penuntutan, dan persidangan memerlukan Rp10 triliun.
Solusinya setiap desa bisa menyelesaikan perkara secara adat, tanpa resistensi, tidak ada saling gugat, bahkan tanpa biaya untuk menangani perkara karena diselesaikan dengan perdamaian di Bale Kerta Adhyaksa.
Yang digarisbawahi dalam penyusunan payung hukumnya adalah batasan perkara dan sanksi kepada pelaku.
Ruang desa adat ini tidak akan menyelesaikan kasus pembunuhan, pemerkosaan, atau konflik lahan berkepanjangan yang hanya pengadilan jalan satu-satunya.
Pemerintah membatasi kewenangannya pada hukum umum, contohnya kasus pencurian dengan membagi sanksi dari ringan berupa teguran, menengah berupa kerja sosial, atau berat berupa denda.
Dalam bilangan hari, dewan menggelar sidang untuk penyampaian pandangan umum fraksi.
Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, dan Demokrat-Nasdem menunjukkan respons positif terhadap pengajuan peraturan daerah ini dengan sejumlah catatan.
Sedangkan Fraksi Gerindra-PSI memberikan banyak catatan substansif yang tak ingin terburu-buru menyelesaikan raperda apalagi salah satu dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru akan berlaku pada Januari 2026.
Tanpa menunggu lama, pada Selasa, 12 Agustus 2025, Gubernur Bali Wayan Koster memberi jawaban para fraksi, dan tepat pada HUT Ke-67 Provinsi Bali yaitu Kamis, 14 Agustus 2025 DPRD Bali menghadiahi persetujuan penetapan Raperda Bale Kerta Adhyaksa menjadi peraturan daerah.
Perdebatan Dewan
Jika dilihat perjalanannya, proses pembentukan peraturan daerah untuk raperda ini secara administratif di DPRD Bali begitu cepat bergulir, hanya terhitung satu minggu.
Namun tentu terjadi dinamika, seperti Fraksi Gerindra-PSI yang optimistis sambil memperhatikan realitas tumpukan beban tugas bagi desa adat yang sumber daya manusianya berbeda-beda di setiap wilayah.
Penggunaan diksi adhyaksa yang melekat dengan kejaksaan dalam judul raperda dapat menimbulkan kecemburuan lembaga penegak hukum lainnya, yang berujung semua ingin membentuk perda dengan judul sesuai julukan masing-masing.
Juga soal menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang memang mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) namun masih kabur rumusannya sebab baru akan diterapkan tahun 2026.
Dinamika ini terjawab dengan penjelasan bahwa Bale Kerta Adhyaksa tidak menjadi bagian dari lembaga desa adat namun dibentuk di lingkup desa adat.
Menjadi PR besar juga nantinya ketika lembaga itu dibentuk karena diperlukan sumber daya manusia yang profesional seperti akademisi, ahli hukum, atau tokoh di desa masing-masing.
Penggunaan nama adhyaksa juga kental berarti pengawas atau hakim tertinggi dalam bahasa Sansekerta, kata itu dipilih sebagai representasi nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan bukan terkait kejaksaan.
Dalam menangani perkara hukum umum yang terjadi di wewidangan desa adat, pemerintah ingin Bale Kerta Adhyaksa memadukan penerapan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat dengan hukum positif.
Terkait dasar hukum Undang-Undang KUHP, disepakati lembaga baru ini akan diberlakukan setelah dasar hukum tersebut berlaku.
Saat ini setelah mayoritas DPRD Bali sepakat menyetujui perubahan raperda menjadi perda, payung hukum bagi lembaga Bale Kerta Adhyaksa ini diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri.
Sejumlah desa adat di Bali mulai melakukan simulasi menjalankan sistem ini.
Setidaknya, ketika KUHP berlaku, dengan peraturan daerah yang dibuat cepat ini membuat desa adat di Bali lebih siap menyambut dengan solusi yang juga membantu mengurangi beban kerja lembaga penegak hukum formil.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
