Denpasar (ANTARA) - Gubernur Bali Wayan Koster meminta pemerintah pusat mereformasi sistem perizinan berusaha berbasis risiko atau online single submission (OSS) RBA agar melibatkan pemerintah daerah dalam pemberian izin.
Koster dalam Rapat Koordinasi Evaluasi OSS RBA mengatakan sistem perizinan yang sepenuhnya otomatis telah menghilangkan peran pemerintah daerah, bahkan izin bagi penanaman modal asing (PMA) bisa terbit tanpa verifikasi kabupaten/kota.
“Dengan modal hanya Rp10 miliar, banyak investor asing leluasa masuk, padahal angka itu sering hanya tercatat di atas kertas, praktiknya di bawah Rp1 miliar, tapi mereka sudah menguasai jenis-jenis usaha rakyat,” kata dia di Denpasar, Jumat.
Koster mencontohkan di Kabupaten Badung, ada lebih dari 400 orang asing memiliki usaha rental kendaraan, belum termasuk usaha bahan bangunan dan kuliner yang berdiri di lahan milik warga lokal.
“Kalau dibiarkan, pelaku luar akan membanjiri sektor ekonomi kita, ruang usaha anak-anak Bali diambil, ekonomi rakyat akan lumpuh,” ujarnya.
Pemprov Bali menilai lemahnya pengawasan daerah akibat tak dilibatkan dalam OSS RBA ini berdampak langsung pada pelanggaran tata ruang.
Akar masalah OSS RBA, menurut dia, ada pada ketidakharmonisan norma antara regulasi pusat dan daerah.
"Norma yang berlaku pemerintah pusat berlaku umum, padahal di bawah ada perda RTRW dan RDTR yang seharusnya jadi acuan utama," tuturnya.
Kewenangan kabupaten/kota terbatas, menurut dia, RDTR banyak yang belum lengkap, akibatnya, izin bisa terbit di kawasan yang seharusnya dilindungi.
Koster mengatakan norma OSS yang seragam secara nasional ini semestinya memperhatikan kondisi daerah yang padat investasi seperti Bali sehingga jangan dipukul rata dengan daerah lain.
Atas pertemuan ini dihasilkan sejumlah usulan yang akan dibawa Pemprov Bali ke DPR RI dan kementerian terkait.
Usulan tersebut, antara lain meminta sinkronisasi norma OSS dengan regulasi daerah, pengembalian kewenangan verifikasi izin kepada pemerintah daerah, klasifikasi ulang sektor usaha terutama pariwisata dan perdagangan moderen menjadi risiko menengah atau tinggi.
Selain itu juga kenaikan ambang modal PMA untuk daerah padat investasi seperti Bali, hak koreksi daerah terhadap izin yang melanggar tata ruang atau berkembang melebihi kapasitas, dan pemberian kewenangan daerah menentukan bidang usaha yang sudah jenuh.
“OSS yang terlalu tersentralisasi ini sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah, semua kendali ada di pusat, sementara daerah hanya jadi penonton. Kita harus ubah norma-normanya supaya daerah punya ruang untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan budaya Bali,” ujar Koster.
Gubernur menegaskan bahwa Bali sudah matang investasinya, dan yang dibutuhkan adalah skema kebijakan khusus agar pengelolaan ruang dan investasi tidak menimbulkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan.
“Saya akan sampaikan langsung ke kementerian dan DPR agar norma dan pasal-pasal yang bermasalah disesuaikan. Bali tidak menolak investasi, tapi harus ada keberpihakan yang jelas pada ekonomi rakyat,” kata dia.
Baca juga: Gubernur Bali manfaatkan pertemuan dengan DPR buat minta OSS ditinjau
Baca juga: Bali usul libatkan daerah dalam izin OSS buntut penyalahgunaan PMA
Baca juga: Diskop UMKM Bali sepakat dengan DEN soal perbaikan perizinan PMA
Baca juga: Pemkab Badung sosialisasikan perizinan melalui sistem OSS
