Gianyar, Bali (ANTARA) - Pelaksanaan ekonomi hijau di Tanah Air mendapatkan angin segar, setelah mendengar pernyataan dan komitmen Presiden Joko Widodo untuk memperkuat ekonomi hijau (green economy) saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional(musrenbangnas) 2021 di Istana Negara, Selasa (4/5).
Pernyataan presiden ini menjadi langkah penting dalam penguatan ekonomi hijau dan mencegah krisis iklim. Apalagi Indonesia mempunyai potensi kekayaan alam seperti hutan tropis yang dapat dimanfaatkan untuk paru-paru dunia secara berkelanjutan.
Untuk memperkuat ekonomi hijau, Jokowi mengatakan bahwa transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai. Karena itu, teknologi dan produk hijau harus diperkuat untuk meningkatkan daya saing Indonesia di luar negeri.
Berbagai pemerhati ekonomi hijau mengapresiasi dan mendukung komitmen presiden, dan mengusulkan agar dikonkritkan dan diperkuat dengan rencana yang jelas dan alokasi dana dalam APBN tahun 2022.
Selain itu, dukungan kementerian, pemda dan lembaga pemerintah lainnya untuk saling kerja sama dan sinergi, guna menurunkan emisi hingga nol pada tahun 2050.
Baca juga: Anggota DPR: COVID-19 ajarkan pentingnya berdayakan ekonomi hijau
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar menyambut baik komitmen yang disampaikan presiden Jokowi.
Transformasi menuju energi baru dan terbarukan adalah sebuah keharusan yang wajib dijalankan oleh pemerintah dan semua pihak terkait (stakeholder).
“Energi baru dan terbarukan adalah masa depan kita. Masa depan Indonesia dan anak cucu kita nanti”, tegas Paul.
Paul menambahkan bahwa sehubungan dengan pernyataan presiden tersebut dan dalam rangka mencapai zero emisi atau “net zero emission” tahun 2050, Indonesia sudah harus memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan sedikitnya 50 persen di 2050.
Termasuk mengurangi penggunaan energi berbasis fosil, serta sama sekali tidak menggunakan fosil lagi mulai 2050, kecuali menggunakan teknologi yang menyerap karbon dan menyimpannya.
Dukungan
Paul yang juga anggota Koalisi masyarakat sipil Generasi Hijau (Gerakan Ekonomi Hijau Masyarakat Indonesia) menegaskan bahwa transisi menuju energi baru dan terbarukan membutuhkan dukungan dan keseriusan pemerintah di semua tingkatan, terutama dukungan regulasi dan kebijakan fiskal di tingkat nasional dan daerah.
Selain itu, Indonesia membutuhkan rencana dan agenda pelaksanaan (roadmap) soal transisi energi menuju zero emis tahun 2050. Karena itu, “komitmen Presiden Jokowi yang disampaikan dalam Musrenbangnas tersebut perlu kita dukung dan apresiasi bersama”, tegas Paul.
Baca juga: Luhut tegaskan upaya Indonesia dukung ekonomi hijau
Senada dengan Paul, Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) yang juga Koordinator Koalisi Generasi Hijau, Misbah Hasan, menambahkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau tidak cukup hanya di level komitmen politik saja.
Namun, dibutuhkan kemampuan eksekusi di tingkat birokrasi oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Karena itu, dukungan pendanaan dari APBN dan APBD menjadi sebuah keharusan dalam memperkuat komitmen yang sudah disampaikan presiden ini.
Memang terdapat sejumlah skema kebijakan fiskal yang bisa digunakan pemerintah untuk memperkuat transisi menuju ekonomi hijau, termasuk skema perpajakan, penandaan anggaran (budget tagging), dan juga transfer anggaran berbasis ekologi.
Misbah memberi penekanan supaya pemerintah mengalokasikan anggaran yang memadai dalam APBN 2022 untuk mendukung komitmen politik presiden ini.
Untuk tahap awal, komitmen presiden itu harus secara eksplisit dimasukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022 yang sedang disusun oleh Bappenas dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022 yang sedang dipersiapkan oleh Kementerian Keuangan, nota keuangan dan RAPBN 2022.
Sinergi
Sementara itu, Ketua IAP2 Indonesia (International Association for Public Participation) Aldi Muhammad Alizar memberi penakanan tentang pentingnya sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam memperkuat ekonomi ini.
Baca juga: Walhi: Ekonomi Hijau Hanya Kamuflase
Selain itu, kolaborasi antar stakeholder, baik aktor pemerintah maupun aktor non pemerintah seperti sektor swasta dan masyarakat sipil, juga perlu diperkuat untuk mendukung kebijakan transisi menuju ekonomi hijau.
“Jika antar kementerian/lembaga, sektor swasta dan masyarakat sipil jalan sendiri-sendiri dan tidak ada kerjasama dan sinergi, maka komitment presiden dalam penguatan ekonomi hijau akan sulit dilaksanakan”, tegas Aldi.
Dalam perspektif yang sama, Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan (RIB) Dr. Cand Yusdi Usman mengingatkan tentang target NDC (Nationally Determined Contributions) penurunan emisi karbon yang harus dicapai Indonesia pada tahun 2030.
Untuk mencapai target tersebut, komitmen presiden tentang ekonomi hijau tidak boleh berhenti di pernyataan saja, namun harus dilaksanakan oleh jajarannya di kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah.
“Komitmen presiden sudah bagus, namun dukungan kementerian, lembaga negara dan kebijakan fiskal masih sangat lemah”, ujar Yusdi. Contohnya, kecilnya dana penanganan perubahan iklim yang diusulkan Bappenas sebagai prioritas nasional tahun 2022, yakni hanya Rp9,6 Triliun.
Baca juga: Kadin Minta Insentif untuk Investasi Hijau
Ia mengusulkan agar dana itu ditambah, tanpa menyebut berapa jumlah anggaran di APBN 2022 yang idealnya untuk mewujudkan ekonomi hijau.
Meskipun pemerintah sedang fokus pada pemulihan ekonomi karena pandemi COVID-19, namun, pemulihan ekonomi hijau untuk kebutuhan jangka panjang harus dijalankan secara serius oleh pemerintah.