Denpasar (Antaranews Bali) - "Amerika itu lebih SARA daripada Indonesia," ujar Wapres Jusuf Kalla kepada presenter Najwa Shihab dalam sebuah acara di sebuah newsroom televisi nasional, Rabu (10/1) malam.
Dengan gaya bicara yang ceplas-ceplos, politisi kawakan itu mencontohkan SARA (suku, agama, ras/etnis, antar-golongan/strata) di Amerika yang ditandai dengan banyaknya larangan ini-itu untuk menjalankan agama tertentu dengan alasan demokrasi.
Sebaliknya, di Indonesia lebih bebas, kendati politisi memang ada yang suka mengaduk-aduk emosi massa dengan isu SARA, padahal tataran akar rumput masyarakat itu hidup rukun dan harmonis antar-umat beragama.
Dalam acara "tayang-bincang" (talkshow) itu, Jusuf Kalla mencontohkan Maluku dan Poso. Pada kedua daerah itu, masyarakat setempat cukup arif menerima bupati dan wakil bupati yang berbeda agama.
"Kalau bupati-nya Muslim, maka wakilnya dari Kristen. Sebaliknya, kalau bupati-nya Kristen, maka wakilnya dari Muslim. Itu sudah berlangsung sejak lama dan tidak ada masalah," ujarnya.
Pandangan orang nomer dua di Indonesia itu penting dijadikan refleksi bagi kalangan pers dalam era hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini dan tahun depan (2019) ada Pemilihan Presiden.
Apalagi, mantan Presiden BJ Habibie dan almarhum KH Abdurrahman Wahid sudah meniup terompet kebebasan pers di Indonesia pada kurun 1999-2001 setelah Soeharto lengser dari tampuk kepresidenan.
Namun, kebebasan pers yang dampaknya masih terasa hingga kini itu hanya indah selama belasan tahun saja, karena sejak 2015 justru terjadi "blunder" akibat kebebasan yang melampaui kode etik pers atau "kebablasan" (kebebasan tanpa kode etik).
Setidaknya, "euforia" dalam kebebasan pers yang dialami pers di Indonesia pada era reformasi (1997-2001) itu cukup menyemarakkan demokratisasi hingga datangnya era digitalisasi (2010-2017) yang justru menciptakan "blunder" dalam kebebasan pers itu.
"Kepemimpinan BJ Habibie adalah masa paling menerapkan kebebasan pers. Kita mau nulis apa saja tidak dilarang," kata wartawan Antara di Istana (Soeharto-Susilo Bambang Yudhoyono), Arnaz Ferial Firman, dalam buku "80 Tahun Antara" yang diterbitkan Kantor Berita Indonesia ANTARA pada peringatan 80 Tahun LKBN Antara (13-12-2017).
Dalam halaman 113-115 pada buku 80 Tahun ANTARA itu juga disebutkan bahwa Antara tidak menerima begitu saja "kebebasan" yang ada, namun Antara tetap menjaga diri agar tidak "kebablasan" memihak ataupun "kebablasan" mengkritik pemerintah. Antara memihak fakta.
Kebebasan pada era BJ Habibie itu hanya berlangsung setahun, karena ahli pesawat terbang itu hanya menjalankan satu mandat, yakni melakukan pemilihan umum tahun 1999 yang memosisikan PDIP sebagai peraih suara tertinggi dari rakyat hingga 33 persen.
Pada 20 Oktober 1999, MPR pun menggelar Pemilihan Presiden yang akhirnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden keempat, karena Gus Dur dianggap sebagai "penengah" dalam "perbedaan" antara Amien Rais dan Megawati.
Tanpa Caci Maki
Dalam halaman 146 pada buku 80 Tahun Antara juga disebutkan bahwa pers kembali menghirup udara bebas pada masa Gus Dur itu, karena peliputan di Istana Kepresidenan tidak perlu izin yang rumit.
Soal izin cukup datang dari anak sulung Gus Dur, Yenny Wahid (Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid), yang kala itu juga koresponden media Australia dan paham bahwa pers tidak suka birokrasi.
"Media bebas berbicara apa saja, apalagi Gus Dur juga sering berkata suka-suka (ceplas ceplos), namun semuanya tetap dalam batas kode etik," kata Arnaz dalam buku terbitan PT Gramedia itu.
Jadi, meski tidak ada sekat, namun caci maki atau olok-olok dalam berita juga tidak ditemukan, namun saat Gus Dur mengancam akan mengeluarkan Dekrit 31 Juli 2001, maka bibit "kebebasan tanpa kode etik" mulai muncul.
Saat itu, beredar foto Gus Dur bersama seorang wanita bernama Aryanti, lalu ada lagi isu "Buloggate" hingga Gus Dur pun lengser. Saat itulah, caci maki mulai mewarnai kebebasan yang ada.
Merespons hal itu, ANTARA tidak mengikuti "kebebasan" (kebablasan) itu dengan memihak pada konstitusi bahwa presiden adalah lambang negara dan foto itu politis, namun dekrit yang membubarkan MPR juga dinilai menyalahi konstitusi.
Nah, ketidakindahan kebebasan pers tanpa kode etik itu agaknya semakin disempurnakan dengan datangnya era digitalisasi yang justru menggeser peran media massa yang mengutamakan akurasi, narasumber (kompetensi), dan editor (redaktur) sebagai pengawal itu kepada media sosial (medsos) yang kebebasannya mengalir deras tanpa kode etik.
Bahkan, kedatangan media sosial yang bebas tanpa kode etik itu juga menggulingkan media massa yang gamang dengan era digitalisasi, bahkan beberapa media massa yang punya nama besar pun berguguran dan memohon pamit kepada para pembaca setianya.
Untuk skala Indonesia, beberapa nama media massa yang tergerus digitalisasi antara lain Harian Pikiran Rakyat, Harian Suara Pembaruan, Koran Sindo, Majalah Femina, Majalah Remaja Hai, dan sebagainya, sedangkan untuk skala dunia juga ada sejumlah nama media besar.
Ya, media massa memang sempat "terbelah" saat datangnya era digitalisasi. Sebagian memilih untuk bertahan dengan memberlakukan koran digital (pdf), namun sebagian media mencoba beralih kepada media online/daring daripada harus babak belur sebagai media cetak.
Agaknya, media massa yang melirik koran digital harus terseok-seok gerak langkahnya, sedangkan media massa yang menoleh ke media daring harus "head to head" dengan media sosial yang begitu cepat sampai kepada publik, kendati media daring itu meninggalkan akurasi/kode etik hingga muncullah istilah hoaks.
Jadi, "perang" media online versus media sosial itulah yang akan meramaikan Pilkada Serentak 2018 hingga Pilpres 2019 dengan kebebasan tanpa kode etik yang mengarah pada "hoaks" (kabar bohong) demi kekuasaan, seperti informasi tanpa sumber, tempelan foto, dubbing suara, dan scan dokumen. Gus Dur saja sempat mengalami, apalagi pemimpin "zaman now".
Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas dalam memilih pemimpin, yakni merujuk pada "adu program" yang realistis dan menghindari hoaks berbentuk "permainan" ayat-ayat suci, gempuran moralitas yang tendensius, rekayasa tematik khusus SARA, dan manipulasi medsos. Lebih penting lagi, pers juga memihak fakta dan konstitusi, bukan isu, apalagi hoaks. Ya, kebebasan (etik) tanpa caci maki. (WDY)