Denpasar (ANTARA) - Panitia Khusus Tata Ruang Aset dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali bersama Pemkab Tabanan membahas pelanggaran pemanfaatan ruang untuk usaha di kawasan subak Jatiluwih demi mempertahankan status Warisan Budaya Dunia (WBD) dari UNESCO.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali I Made Supartha di Denpasar, Jumat, mengatakan pembahasan langkah penindakan ini dilakukan untuk kebaikan bersama, karena mencari penghargaan dunia UNESCO itu susah.
"Jadi, kita mesti jaga, kemudian kita sekarang ada kegiatan-kegiatan yang sedikit ini (usaha restoran) kan tidak terlalu banyak, saya kira kita perbaiki evaluasi,” kata dia.
Dalam rapat dengar pendapat ini, DPRD Bali turut memanggil 13 pelaku usaha yang melanggar di subak Jatiluwih.
Mereka adalah Warung Metig Sari, Warung Anataloka, Warung Krisna D'Uma Jatiluwih, Warung Nyoman Tengox, Agrowisata Anggur, Cata Vaca Jatiluwih, Warung Wayan, Green e-bikes Jatiluwih, Warung Manik Luwih, Gong Jatiluwih, Villa Yeh Baat, Warung Manalagi, dan The Rustic yang sekarang bernama Sunari Bali.
Setelah sebelumnya diperiksa, Supartha memastikan 13 akomodasi ini terbukti melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2023 tentang RTRW Kabupaten Tabanan di Kawasan WBD Jatiluwih, selain melanggar alih fungsi lahan sawah dilindungi (LSD), juga pembangunan ada di area lanskap budaya UNESCO dan merusak integritas visual kawasan.
Bentuk pelanggaran ini, sudah berpotensi mengancam dicabutnya status Jatiluwih sebagai WBD sehingga berpotensi menurunkan nilai keaslian kawasan, merugikan masyarakat petani, dan sanksi hilangnya bantuan internasional dari UNESCO.
“Perlindungan kawasan Warisan Budaya Dunia bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral kita kepada generasi mendatang dan komunitas internasional," ujar Supartha.
Namun, dalam pertemuan ini, dewan belum menentukan keputusan terhadap para pelaku usaha, hanya saja sudah mulai menyusun konsep solusi bagi petani agar tetap sejahtera tanpa melanggar pemanfaatan kawasan.
Salah satunya adalah penataan rumah penduduk menjadi penginapan berstandar internasional, serta pengembangan restoran kuliner lokal yang higienis, wisata berbasis aktivitas pertanian, dan masih dapat membangun di dalam kawasan tetapi diatur secara ketat.
Wakil Bupati (Wabup) Tabanan I Made Dirga membenarkan adanya pelanggaran ini, namun ia menjelaskan bahwa petani pemilik sawah sendiri belum sepenuhnya bisa menikmati Jatiluwih sebagai WBD.
"Kalau ngomong hasil pertanian di Jatiluwih, tentunya perlu diketahui bahwa Jatiluwih itu enak dipandang tetapi hasilnya sangat jauh daripada yang sebenarnya harapan kita, di tempat lain luas-luas sawahnya dan gampang untuk kita mengerjakan, kalau di Jatiluwih itu beda, dengan pekerjaan yang begitu sulit pada akhirnya hasil panen tidak sesuai dengan harapan,” kata dia.
Atas alasan inilah, Dirga mengatakan petani di sana membangun akomodasi pariwisata yang dinyatakan melanggar ini.
Untuk itu, Pemkab Tabanan turut meminta solusi atas persoalan ini, sebab mereka juga ingin status WBD di Jatiluwih tetap bertahan.
Pemkab Tabanan juga mengakui selama ini peringatan-peringatan dari UNSECO sudah datang, sementara jika status yang diperoleh sejak 2012 itu lenyap maka subak bertingkat itu mungkin tidak akan menjadi destinasi unggulan lagi.
Baca juga: Satpol PP lanjut panggil 11 pengusaha restoran di area subak Jatiluwih
Baca juga: Bupati Tabanan terima warga Jatiluwih terkait penyegelan tempat usaha
Baca juga: Pengusaha di subak Jatiluwih setuju restorannya ditata asal seragam
Baca juga: Satpol PP Bali panggil pengusaha restoran yang disegel di Jatiluwih
Baca juga: DPRD Bali tegaskan penutupan restoran berbeton Jatiluwih demi penataan
