Denpasar (ANTARA) - Perwakilan pengusaha yang restorannya disegel di area subak Jatiluwih, Tabanan, menyatakan mereka setuju bangunannya ditata asal seragam seluruh restoran.
Hal ini disampaikan perwakilan pengusaha bernama Agus Pamuji Wardana usai dipanggil Satpol PP Bali untuk memberi keterangan kelengkapan izin di Denpasar, Senin.
“Sebenarnya kalau semua disamaratakan kami setuju-setuju saja semua ya karena seperti kami konsep restoran Gong Jatiluwih sendiri bukan bangunan beton kami eco friendly,” kata dia.
Diketahui sebelumnya Satpol PP Bali bersama Panitia Khusus Tata Ruang Aset dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali menutup sementara sekitar 13 lokasi usaha di tengah subak Jatiluwih yang berstatus Warisan Budaya Dunia UNESCO sejak 2012.
Pemerintah memberi opsi penataan yang juga sesuai dengan kesepakatan desa adat sebelumnya bahwa boleh berdiri usaha di tengah hamparan sawah namun dibatasi dengan ukuran 3x6 meter, dibangun dengan kayu atau bambu, serta hanya menjual kuliner lokal seperti jajan dan kopi.
Agus Pamuji sebagai pengelola salah satu restoran menilai yang terpenting adalah solusi yang saling menguntungkan saja, sebab petani sebagai pemilik tanah yang merupakan objek wisata menurutnya perlu mendapat keuntungan juga selagi tidak ada keterlibatan investor asing di dalamnya.
Sementara hingga saat ini, para pengusaha belum melihat keputusan terbaik untuk mereka, bahkan selain menjalani pemanggilan Satpol PP Bali, mereka juga sudah bertemu Bupati Tabanan pagi tadi namun belum ada keputusan.
Disinggung soal potensi status warisan budaya dicabut UNESCO akibat maraknya pembangunan merusak tata ruang, perwakilan pengusaha itu menilai itu hak masyarakat Jatiluwih.
“Sepengetahuan saya, wisatawan ke Jatiluwih itu tidak tahu kalau itu Warisan Budaya Dunia, kebanyakan mereka tahu pemandangannya bagus, baru kita tahu ada label UNESCO,” ujarnya.
Oleh karena itu para pengusaha yang tidak terima dengan keputusan Satpol PP Bali dan DPRD Bali menutup sementara restoran mereka melakukan protes dengan memasang pagar seng di sawah.
“Kalau akomodasi (restoran) dianggap merusak, itu adalah salah satu sarana penunjang pariwisata, lebih baik pariwisatanya tidak ada di Jatiluwih jadi kami memasang seng untuk mengganggu pemandangannya,” kata Agus Pamuji.
