Denpasar (Antara Bali) - Panitia Khusus (Pansus) Aset DPRD Provinsi Bali batal mengadakan rapat dengan Badan Pertanahan Nasional membahas aset di Hotel Hyatt Sanur karena surat undangan tidak dikirim ke BPN.
"Rencana hari ini kami rapat dengan BPN untuk membahas permasalah aset pemprov di Hotel Bali Hyatt Sanur," kata Ketua Pansus Aset DPRD Bali Made Arjaya di Denpasar, Jumat.
Namun, lanjut dia, karena ada kesalahan teknis di bagian tata usaha sekretariat Dewan, kata dia, surat undangan tidak dikirimkan ke BPN.
"Kami tidak mengerti, padahal surat tersebut sudah ditaruh di bagian umum kesekretariatan DPRD agar dikirimkan. Namun, entah apa? Atau, ada oknum yang sengaja menyabotase sehingga rapat ini batal digelar," ujar politikus PDI Perjuangan.
Padahal dari anggota Pansus Aset sudah hadir di ruang rapat gabungan, di antaranya I Gusti Putu Widjera, Kadek Nuartana, Dewa Nyoman Rai, Dewa Ngakan Made Samudra, dan Komang Nova Siwi Putra.
Pada kesempatan tersebut Arjaya memanggil staf kesekretariatan DPRD untuk menanyakan surat undangan untuk BPN kenapa tidak dikirim, bahkan hilang tidak ada yang mengetahui.
Arjaya pun memanggil staf di Sekretaris Dewan yang mengurusi surat-menyurat. Dua staf datang. Satu staf mengaku sudah menaruh surat itu pada hari Rabu (14/5) di meja Bagian Tata Usaha (TU).
"Tiang (saya) taruh di meja. Tidak ada orang," kata staf tersebut di hadapan Arjaya berikut anggota Pansus Aset DPRD lainnya.
Arjaya mengatakan bahwa pihaknya akan menyelesaikan secara internal terkait dengan surat undangan itu sampai hilang.
"Terkait dengan masalah surat undangan ini kami akan selesaikan secara internal. Begitu juga untuk rapat dengan BPN dijadwalkan setelah Hari Raya Galungan. Rencananya kami selenggarakan pada hari Senin (26/5)," ujarnya.
Arjaya lebih lanjut mengatakan bahwa pertemuan dengan mengundang Kepala Kantor Wilayah BPN Bali ini sangat penting karena akan membicarakan soal aset Pemprov Bali di Hotel Bali Hyatt Sanur.
Diketahui bahwa aset tanah Pemprov Bali seluas 2,5 hektare itu tidak jelas keberadaannya. Pada tahun 1972, aset itu oleh Gubernur Bali Sukarmen kala itu dimasukkan dalam penyertaan modal sehingga Pemprov Bali mestinya mendapat bagian dividen (keuntungan).
Bahkan, kata Arjaya, Pemprov Bali tidak mendapat apa-apa, dan di sisi lain pemprov dianggap telah melepas hak atas tanah tersebut meski pemprov sebetulnya tidak pernah melakukan pelepasan hak.
"Intinya, soal aset di Bali Hyatt ini kami ingin memastikan bahwa kami harus mendapatkan dividen sejak 1972, atau tanah itu kembali kepada Pemprov Bali," kata Arjaya. (WDY)