Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Bali menyatakan penetapan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) telah memiliki bukti permulaan yang kuat.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Selasa, JPU Kejati Bali Nengah Astawa menyatakan penetapan Prof. Antara sebagai tersangka berdasarkan beberapa alat bukti permulaan yang cukup yakni surat, saksi, keterangan ahli dan petunjuk.
JPU mengatakan penetapan tersangka atas nama Pemohon Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M. Eng, sudah memenuhi ketentuan di dalam pasal 1 butir 14 KUHAP karena pada dasarnya penetapan tersangka berdasarkan adanya bukti permulaan yang bisa saja diperoleh dalam tahap penyelidikan maupun tahap penyidikan.
Di hadapan Hakim Tunggal Agus Akhyudi dalam persidangan dengan agenda sidang Jawaban dari Termohon Kejati Bali, Astawa pun membeberkan sejumlah bukti surat berupa lima keputusan Rektor Universitas Udayana tentang pungutan sumbangan pengembangan institusi yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan alat bukti yang dimiliki penyidik.
"Berdasarkan alat bukti yang dimiliki oleh Penyidik selaku Termohon dalam perkara a quo, pemungutan dan atau pengenaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Mahasiswa Baru Seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana Tahun 2018-2022 pelaksanaannya tidak sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana terkait dasar pelaksanaan SPI sebagaimana tersebut berupa adanya pungutan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Mahasiswa Baru Seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana Tahun 2018-2022 dilakukan tanpa dasar hukum," kata Astawa. Selanjutnya, Astawa menguraikan ketentuan terkait program studi dan besaran dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Mahasiswa Baru Seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana Tahun 2018-2022 tidak dilaksanakan sebagaimana Keputusan Rektor Universitas Udayana.
Dalam uraiannya Astawa mengatakan untuk membuktikan apa yang telah ditemukan oleh Termohon selaku penyidik tersebut masuk ke dalam materi pokok penyidikan yang dapat dibuktikan melalui proses persidangan bukan dalam ranah praperadilan.
JPU menilai dalil pemohon bahwa pungutan SPI adalah pungutan yang sah dan tidak dapat dikategorikan sebagai pungutan tanpa dasar atau pungutan liar, sangat kontradiktif dengan apa yang dikatakan oleh salah Kuasa Hukum Termohon pada Kamis 18/3/2023 di Kampus Unud, Bukit Jimbaran, Nusa Dua, Badung yang pada pokoknya akan mengembalikan dana sejumlah Rp1,8 miliar dana SPI. Hal tersebut, kata JPU membuktikan bahwa secara gamblang Unud mengakui adanya pungutan liar.
Hal berikutnya yang dibantah oleh JPU adalah terkait perhitungan keuangan negara. Dalam dalilnya, Pemohon menyatakan perhitungan kerugian keuangan negara yang dipakai Kejati Bali tidak berdasarkan perhitungan dari BPK dan atau berdasarkan Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) yang diterbitkan oleh BPKP.
"Perlu Termohon sampaikan bahwa BPK bukan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perhitungan keuangan negara, akan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang bisa melakukan perhitungan kerugian negara," kata Nengah Astawa.
Hal tersebut, kata Astawa berdasarkan kesimpulan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran Pengadilan empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia Tahun 2009 tanggal 9 Oktober 2009 yang menyatakan jika penghitungan kerugian negara dilakukan oleh Jaksa (Penuntut Umum) yang didukung oleh alat-alat bukti yang kuat, serta memperoleh keyakinan, maka Hakim dapat menetapkan besaran kerugian negara tersebut, walaupun bukan hasil dari pemeriksaan oleh BPK/BPKP selaku auditor. Kewenangan tersebut dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.
Berdasarkan hal tersebut, JPU meminta Hakim menolak dalil yang disampaikan Pemohon bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan pada hasil penghitungan atau audit dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia karena tidak cukup beralasan dan tidak berdasar secara hukum.
JPU menyatakan penetapan Prof. Antara sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Nomor : Print-1561A/N.1/Fd.2/03/2023 tanggal 08 Maret 2023 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor : Print-329B/N.1/Fd.2/03/2023 tanggal 08 Maret 2023.
Adapun tahapan penetapan tersangka telah melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang diawali dengan penerbitan surat perintah penyelidikan Nomor: Print-
988/N.1/Fd.1/09/2022 tanggal 23 September 2022. Dalam proses penyelidikan ini telah dimintai keterangan lima orang saksi.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh tim penyelidik, kata Astawa telah ditemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana sehingga layak ditingkatkan ke tahap penyidikan sebagaimana hasil ekspose yang dilakukan tanggal 18 Oktober 2022.
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari hasil penyelidikan, kemudian diterbitkan surat perintah penyidikan tanggal 24 Oktober 2022 dan telah memeriksa 16 saksi dan satu ahli, serta memperoleh barang bukti yang sah.
Berdasarkan hasil kegiatan penyidikan yang dilakukan tim penyidik, maka dilakukan ekspose pada tanggal 11 Januari 2023, 07 Februari 2023, 3 Maret 2023 dan 7 Maret 2023 yang salah satu kesimpulannya telah diperoleh cukup bukti untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka.
JPU berkesimpulan berdasarkan proses penyelidikan dan penyidikan tersebut, telah terungkap dan diperoleh bukti permulaan, patut diduga bahwa Pemohon Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng sebagai pelaku tindak pidana korupsi melanggar Pasal 2 ayat (1) Pasal 3, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan uraian jawaban yang telah dikemukakan tersebut, JPU memohon Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Denpasar yang memeriksa dan mengadili permohonan tersebut berkenan memberikan putusan yakni menerima jawaban Termohon atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon untuk seluruhnya.
Selain itu, menolak permohonan praperadilan dari Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan permohonan pemeriksan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon tidak ada dasar hukumnya dan menyatakan Surat Penetapan Tersangka tanggal 08 Maret 2023 adalah sah menurut hukum, serta membebankan biaya perkara kepada Pemohon.
Sementara itu, Kuasa Hukum Rektorat Universitas Udayana Gede Pasek Suardika menyatakan timnya optimis status tersangka bagi kliennya Prof. I Nyoman Gde Antara dapat dicabut karena JPU banyak memberikan jawaban yang menurutnya tidak menyentuh substansi permohonan.
"Saya kira wajar JPU mencoba meyakinkan hakim maupun kita semua bahwa langkahnya sudah benar. Saya melihat lebih banyak mengelak tidak dalam konteks yang begitu fundamental dijelaskan. Kalau dilihat dari jawaban JPU itu kami optimistis. Kalau obyektif kayaknya tersangkanya bisa dibatalkan atau dicabut," kata dia saat ditemui setelah persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali (17/4).
Baca juga: Unud pertanyakan status tersangka rektor saat sidang praperadilan
Baca juga: BEM Unud berikan kajian akademis perkuat tuduhan dugaan korupsi pungutan SPI
Baca juga: Rektor Unud diperiksa Kejati selama delapan jam
Baca juga: PN Denpasar tunda sidang praperadilan Rektor Universitas Udayana