Tim Kuasa Hukum Rektorat Universitas Udayana (Unud) mempertanyakan penetapan status tersangka Rektor Unud Prof. I Nyoman Gde Antara dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Senin.
Salah satu Tim Hukum Rektorat Unud Gede Pasek Suardika mengatakan penetapan Prof. Antara sebagai tersangka dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali pada 8 Maret 2023 perlu diuji dengan alat bukti yang kuat sehingga penetapan tersangka tersebut memiliki dasar yang jelas.
"Penetapan tanggal 8 Maret 2023, tanggal 8 Maret 2023 ke belakangnya apa alat buktinya ? Jangan ada alat bukti yang dihadirkan 8 Maret di depan karena yang kita permasalahkan adalah status tersangka karena ini masih praperadilan. Jadi, masih belum menyentuh substansi, tetapi kami sedang gambarkan tentang bahwa begitu lengkapnya payung hukum yang dilakukan oleh Unud," kata Suardika.
Dalam sidang praperadilan yang dipimpin oleh Hakim Tunggal Agus Akhyudi dengan agenda sidang pembacaan permohonan pihak Pemohon, kuasa hukum Prof. I Gede Nyoman Antara memberikan sejumlah dasar hukum pemungutan SPI jalur mandiri di Universitas Udayana.
Baca juga: PN Denpasar tunda sidang praperadilan Rektor Universitas Udayana
"Di mana problemnya atau unsur melawan hukumnya ? Kami sudah hadirkan semua payung hukum yang dilakukan oleh Unud, sehingga unsur melawan hukumnya tidak ada," kata dia.
Namun demikian, dirinya berharap Jaksa Penuntut Umum Kejati Bali dapat menghadirkan alat bukti yang akurat untuk membuat kasus tersebut menjadi terang benderang.
Dalam sidang praperadilan yang sempat ditunda pada 10 April 2023 lalu karena ketidakhadiran Termohon Kejati Bali, tim hukum Unud juga mempertanyakan jumlah kerugian negara yang disebut oleh Kejati Bali. Menurut Tim Hukum Unud, jumlah perhitungan kerugian negara oleh Kejati Bali lebih besar dari pada jumlah pungutan SPI selama tahun 2018 sampai 2022.
"Kerugian negara itu hitungan bagaimana ? Bagaimana mungkin sampai menemukan kerugian negara Rp400-an miliar, sementara dalam kurun waktu 2018-2022 saja totalnya Rp335 miliar," kata Pasek Suardika.
Menurut Tim Hukum Universitas Udayana, berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada lima alat bukti yang bisa dipakai yaitu saksi, terdakwa, keterangan ahli, petunjuk dan surat.
Baca juga: Kuasa hukum rektor Unud: kajian mahasiswa tak bisa jadi bukti itu korupsi
Baca juga: Kuasa hukum rektor Unud: kajian mahasiswa tak bisa jadi bukti itu korupsi
Dari kelima alat bukti tersebut, menurut Tim Hukum Unud yang paling esensial adalah bukti surat karena pokok perkara dalam kasus tersebut adalah korupsi. Menurut Tim Hukum Unud, oleh karena kasus yang menimpa Prof. Antara bukan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT), maka barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan adalah hasil audit. Menurut keterangan kuasa hukum Rektorat Unud, hasil audit Kejati Bali bertentangan dengan beberapa auditor yang selama ini mengaudit keuangan SPI Universitas Udayana.
Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, penyidik berkesimpulan Prof. Antara berperan dalam kasus dugaan korupsi dana SPI Unud dan menjerat Prof. Antara dengan pasal 2 ayat (1), pasal 3, pasal 12 huruf e jo pasal 18 Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Berdasarkan hasil audit Kejaksaan Tinggi Bali, Rektor Universitas Udayana diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan total mencapai Rp443 miliar.