Denpasar (ANTARA) -
Kuasa Hukum Rektor Universitas Udayana (Unud) Bali Prof. I Nyoman Gde Antara, yakni Gede Pasek Suardika menyatakan kajian akademis yang diberikan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unud kepada penyidik tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti rektor korupsi.
Hal tersebut disampaikan Pasek Suardika di Denpasar, Bali, Kamis saat mendampingi kliennya Prof. Antara yang hadir memberikan keterangan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana SPI.
"Saya kira untuk urusan kajian dari mahasiswa itu gini. Tugasnya mahasiswa itu membangun dialektika. Kajian intelektualnya itu terasa terbangun dengan baik. Itu bagus, tetapi kalau mau dipakai sebagai bukti hukum, saya merasa belum pernah ada pelajaran pembuktian menurut KUHAP menggunakan kajian mahasiswa, yang ada adalah keterangan ahli," kata dia.
Dia sendiri ragu bahwa kajian akademis yang diberikan oleh BEM Universitas Udayana kepada penyidik Pidana Khusus Kejati Bali pada Rabu (5/4) merupakan kajian akademis yang dilakukan oleh mahasiswa sendiri. "Apakah itu memang murni dari mahasiswa atau kah dibantu oleh pihak lain untuk mahasiswa kami nggak tahu lah ya," kata dia.
Menurut Suardika, pungutan SPI yang terakumulasi sejak tahun 2018 sampai tahun 2022 terhitung berjumlah Rp335,8 miliar. Hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah dana yang dikeluarkan oleh Unud untuk membangun sarana dan prasarana yang jumlahnya mencapai Rp479 miliar.
Baca juga: Rektor Unud diperiksa Kejati selama delapan jam
Rektor Universitas Udayana Bali Prof. Gde Antara yang saat itu juga menimpali bahwa untuk menutupi kekurangan-kekurangan dana yang ada, Unud terpaksa harus mengambil dari pos keuangan lainnya.
Prof. Antara mengatakan sepanjang tahun 2018-2022, Unud kekurangan dana Rp143,5 miliar untuk membangun fasilitas sarana dan prasarana yang ada.
"Kalaupun seratus persen dipakai SPI itu yang jumlahnya Rp335,8 miliar, sementara pembangunan Rp479 miliar saya kira kurang Rp143,5 miliar. Jadi, kami tetap ambilkan dari sumber dana PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)," kata Antara.
Prof. Antara juga menampik dugaan bahwa dirinya menjadikan penarikan SPI mahasiswa baru seleksi jalur mandiri sebagai lahan untuk berbisnis.
"Saya tak bisa menanggapi hal yang begitu lah. Tanya sama mereka (BEM) saja," kata dia menjawab pertanyaan wartawan terkait informasi BEM yang menyebutkan bahwa dirinya memungut SPI sebelum mahasiswa dinyatakan lolos seleksi masuk Universitas Udayana melalui jalur mandiri.
Terkait kajian akademis yang diberikan oleh BEM Unud, kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali Putu Agus Eka Sabana Putra mengatakan data-data yang diberikan oleh BEM kepada penyidik Pidana Khusus Kejati Bali dapat dijadikan bahan petunjuk untuk mengungkap secara terang benderang terkait dugaan korupsi dana SPI.
Baca juga: BEM Unud berikan kajian akademis perkuat tuduhan dugaan korupsi pungutan SPI
Kajian akademis yang diberikan Unud yang diterima oleh Asisten Pidana Khusus Kejati Bali Agus Eko Purnomo, kata Eka, juga dapat saja dijadikan alat bukti tambahan apabila memenuhi kualifikasi, namun tidak akan memengaruhi atau pun mengintervensi jalannya penyidikan yang telah berjalan selama ini.
Rektor Universitas Udayana Bali Prof. Gde Antara sendiri hadir di Kejati Bali memenuhi panggilan penyidik Pidana Khusus sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri tahun 2018 -2022.
Prof Antara telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Bali dalam kapasitasnya sebagai ketua panitia penerimaan mahasiswa baru seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Universitas Udayana tahun 2018-2020.
Asisten Pidana Khusus Kejati Bali Agus Eko Purnomo saat mengumumkan status Prof. Antara sebagai tersangka beberapa waktu lalu mengatakan berdasarkan pemeriksaan alat bukti, keterangan saksi dan hasil audit, rektor Universitas Udayana Gde Antara tersebut diduga merugikan negara sebesar Rp105,39 miliar dan Rp3,94 miliar. Selain itu, dia juga merugikan perekonomian negara hingga mencapai Rp334,57 miliar.
Atas perbuatannya, Rektor Universitas Udayana dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 12 huruf e jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 tahun 2001.
Eko Purnomo mengatakan penyidik Kejati Bali menemukan modus dari perbuatan tersangka adalah dengan memungut uang pangkal tanpa memiliki dasar.