Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana selaku terdakwa kasus dugaan pemerasan investor menyebutkan tidak ada unsur pemaksaan kepada saksi Andianto Nahak T Moruk sebagai investor dalam mengurus pembangunan apartemen dan resort di Desa Adat Berawa, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.
Hal tersebut diungkapkan Ketut Riana melalui penasehat hukumnya Gede Pasek Suardika dan kawan-kawan dalam sidang pledoi/pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Bali, Kamis.
"Untuk uang Rp100 juta tidak ada unsur memaksa, karena sudah terbukti di sidang, yang menghubungi dan mengajak pertemuan serta yang memberi uang adalah (saksi) Andianto sendiri, jadi tidak ada unsur memaksa," kata Pasek Suardika.
Pasek mengatakan dalam persidangan bukti-bukti chat yang ditunjukkan oleh Penuntut Umum tidak menunjukkan adanya niat dari terdakwa Ketut Riana untuk memaksakan kehendak kepada saksi Adrianto untuk menyerahkan sejumlah uang.
Baca juga: Bendesa Adat Berawa dituntut enam tahun penjara karena pemerasan
Bahkan, tawaran untuk memberikan sejumlah uang tersebut datang dari saksi Andrianto Nahak sebagai orang yang dipercayakan oleh PT. Berawa Bali Utama yang berencana melakukan investasi berupa pembangunan apartemen dan resort di Desa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Kabupaten Badung.
Penasehat hukum Ketut Riana menilai Andianto Nahak sebagai direktur PT. Bali Grace Efata sebagai perusahaan yang ditunjuk PT. Bali Berawa Utama berusaha untuk mendapatkan persetujuan Bendesa Adat Berawa untuk mengurus perizinan proyek dengan nilai kontrak sebesar Rp3,6 miliar.
Selain itu, Pasek dalam surat jawaban terhadap tuntutan Penuntut Umum mengatakan unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara yang didakwakan JPU dalam kasus tersebut tidak tepat dimana jabatan Bendesa Adat bukan penyelenggara negara.
"Unsur pemerasan kan tidak bisa dipaksakan, kalau mau dipaksakan harusnya suap menyuap, tetapi pidananya pidana umum, baru dicek punya kewenangan tidak yang disuap," katanya.
Padahal, kata Pasek, dalam persidangan terbukti terdakwa Ketut Riana tidak memiliki kewenangan dalam urusan perizinan investasi. Karena itu, dakwaan JPU tidak tepat dikenakan kepada Ketut Riana.
"Bagaimana orang tidak punya kewenangan, tetapi dihukum atas kewenangan yang sifatnya semu, yang tidak punya kewenangan, kok jadi dia yang kena," kata Pasek.
Karena itu, penasehat hukum meminta Majelis Hakim Tipikor Denpasar agar membebaskan terdakwa Ketut Riana dari jeratan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kuasa hukum menilai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang uang pengganti kerugian negara juga janggal karena tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut.
Baca juga: Kejati Bali minta hakim tolak keberatan Bendesa Adat dituduh pemerasan
Apalagi PT. Bali Berawa Utama yang telah dihadirkan dalam persidangan tidak merasa ada kerugian karena diperas Bendesa Adat Berawa Ketut Riana.
Penasehat hukum Ketut Riana mengaku optimis bahwa kliennya tidak terbukti melakukan pemerasan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
"Kami yakin kalau on the track, paling tidak (terdakwa) bebas, toh kalau tidak, dilepas. Jadi, kalau lepas dianggap perbuatannya memang ada, tetapi bukan merupakan perbuatan pidana seperti yang didakwakan," kata Pasek.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Bali Hendri Yoseph Kindangin, Nengah Astawa dan kawan-kawan dalam surat tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar menyatakan terdakwa Ketut Riana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemerasan dalam jabatan secara berlanjut.
Karena itu, JPU dalam surat tuntutan meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman enam tahun penjara.
Dalam dakwaan Jaksa disebutkan bahwa terdakwa beberapa kali meminta uang kepada saksi dengan dalih dana sumbangan (dana punia) sebesar Rp10 miliar.
Disebutkan pada November 2023, terdakwa meminta uang sebesar Rp50 juta untuk bayar utang dengan warga Berawa dan imunisasi cucunya, permintaan itu dipenuhi oleh saksi Andrianto dan uang diserahkan di Starbucks Simpang Dewi Sri, Jalan Sunset Road Legian, Kuta, tanpa kuitansi.
Kedua, pada 1 Mei 2024, terdakwa meminta uang Rp10 M, namun saksi hanya menyanggupi Rp100 juta. Saat penyerahan uang Rp100 juta itu di Caffe Casa Bunga, Renon, Denpasar, penyidik Kejati Bali melakukan OTT terhadap terdakwa dan barang bukti uang.