Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Bali menuntut terdakwa I Ketut Riana, Bendesa Adat Berawa, Kabupaten Badung, hukuman enam tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan terhadap investor.
Jaksa Hendri Yoseph Kindangin, Nengah Astawa dan kawan-kawan dalam surat tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis, menyatakan terdakwa Ketut Riana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemerasan dalam jabatan secara berlanjut.
Hal itu sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 ayat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum.
"Menuntut, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas kesalahannya dengan pidana penjara selama enam tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan," kata JPU di hadapan majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa.
Baca juga: Kejati Bali minta hakim tolak keberatan Bendesa Adat dituduh pemerasan
Baca juga: Kejati Bali minta hakim tolak keberatan Bendesa Adat dituduh pemerasan
Selain itu, JPU meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan dan menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp50 juta.
Jika terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun.
Jaksa mengatakan hal-hal yang memberatkan, yakni perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan segala jenis tindak pidana korupsi, terdakwa tidak mengakui perbuatannya, dan terdakwa berbelit-belit dalam persidangan.
Sedangkan hal-hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan sopan dalam persidangan.
Baca juga: Bendesa Adat Berawa singgung kasus OTT imigrasi yang hukuman tak jelas
Baca juga: Bendesa Adat Berawa singgung kasus OTT imigrasi yang hukuman tak jelas
Dalam tuntutan itu, JPU menyampaikan beberapa unsur telah terpenuhi dalam perkara tersebut, mulai dari unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara, yakni terdakwa setiap bulan mendapatkan penghasilan bersumber dari APBD Badung dan menerima penghasilan dari Pemprov Bali dalam bentuk insentif.
Lalu, unsur lain terpenuhi, yakni unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan unsur secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya.
Jaksa menilai permintaan uang Rp10 miliar dari terdakwa terhadap saksi Andianto tanpa menyampaikan ke perangkat desa lainnya atau masyarakat dianggap menyalahgunakan kekuasaan sebagai Bendesa Adat.
Demikian pula unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, serta unsur perbuatan yang berlanjut.
Demikian pula unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, serta unsur perbuatan yang berlanjut.
Maka dari itu, JPU berkesimpulan perbuatan Ketut Riana dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemerasan dalam jabatan secara berlanjut.
Setelah mendengar tuntutan tersebut, Ketut Riana dan penasihat hukumnya Komang Nila Adnyani mengatakan tuntutan JPU itu cukup berat.
Nila pun membandingkan kasus ini dengan kasus pungli fast track Imigrasi yang justru mandek. Kasus tersebut juga sama operasi tangkap tangan oleh Kejati Bali.
"Ini tidak terduga bagi kami, semoga majelis hakim memutuskan yang seadil-adilnya," katanya.
Kasus yang melibatkan terdakwa Ketut Riana tersebut bermula ketika PT Berawa Bali Utama berencana melakukan investasi berupa pembangunan apartemen dan resort di Desa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Kabupaten Badung.
Kemudian, perusahaan itu menunjuk PT Bali Grace Efata dengan direkturnya saksi Andianto Nahak T. Moruk (AN) untuk mengurus perizinannya, dengan nilai kontrak sebesar Rp3,6 miliar.
Dalam dakwaan Jaksa disebutkan terdakwa beberapa kali meminta uang kepada saksi dengan dalih dana sumbangan (dana punia) sebesar Rp10 miliar.
Hingga pada November 2023, terdakwa meminta uang sebesar Rp50 juta untuk bayar utang kepada warga Berawa dan imunisasi cucunya. Permintaan itu dipenuhi oleh saksi dan uang diserahkan di Starbucks Simpang Dewi Sri, Jalan Sunset Road Legian, Kuta, tanpa kuitansi.
Kedua, pada 1 Mei 2024, terdakwa meminta uang Rp10 miliar, namun saksi hanya menyanggupi Rp100 juta. Saat penyerahan uang Rp100 juta itu di Caffe Casa Bunga, Renon, Denpasar, penyidik Kejati Bali menangkap terdakwa dan barang bukti uang.