Badung, Bali (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali memanfaatkan tradisi dan kearifan lokal masyarakat untuk memperkuat kesiapsiagaan menghadapi bencana, kata Gubernur Bali I Wayan Koster.
Saat berbicara pada sesi Local Leaders Forum yang merupakan rangkaian kegiatan pra-GPDRR di BICC Nusa Dua, Badung, Senin, Koster menyampaikan pihaknya memanfaatkan kulkul sebagai alat peringatan dini terhadap berbagai jenis bencana yang mungkin terjadi di sekitar tempat tinggal masyarakat di Bali.
Baca juga: PBB dorong banyak negara laporkan sistem peringatan dini bencananya
Koster saat berbicara di puluhan delegasi pemerintah dan lembaga asing menyebutkan
kulkul merupakan alat komunikasi tradisional yang saat ini masih digunakan oleh masyarakat di desa-desa adat di Bali.
"Kami di Bali memiliki kearifan lokal dalam penanganan bencana. Kami memiliki tradisi yang kuat. Kalau terjadi bencana, secara tradisional, kami di desa-desa adat membunyikan kulkul atau sirine tradisional di Bali," kata I Wayan Koster di Auditorium Bali International Convention Centre (BICC) Nusa Dua.
Tidak hanya kulkul, ia menambahkan, pemerintah provinsi juga memanfaatkan kekuatan masyarakat di desa-desa adat saat penanggulangan bencana khususnya selama masa pandemi COVID-19.
"Bali juga membentuk Satgas Gotong Royong di desa adat dalam rangka penanganan COVID-19. Ketika COVID-19 pertama muncul di Bali pada 10 Maret 2020, yang kami gunakan secara maksimal Satgas Gotong Royong di desa-desa adat," kata dia.
Baca juga: Menko PMK: Pertemuan GPDRR diawali pembahasan pemulihan setelah pandemi
Kebijakan lain yang diterapkan Pemerintah Provinsi Bali dalam memperkuat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi dampak bencana antara lain memasang alat peringatan dini tsunami di lokasi yang rawan.
Membuat jalur evakuasi dan memasang rambu-rambu pendukungnya, melaksanakan latihan dan simulasi evakuasi bencana secara rutin tiap tanggal 26, membina dan meningkatkan kapasitas relawan bencana, membentuk tim reaksi cepat.
Mengalokasikan APBD untuk bantuan sosial korban bencana, dan mewajibkan pelaku usaha memiliki sertifikasi siap siaga bencana.
"Kami harus memberi rasa aman dan nyaman kepada wisatawan, karena itu kami menerapkan kebijakan sertifikasi di hotel, restoran, rumah sakit, museum. Ada 64 usaha sudah bersertifikat (siaga bencana), dan sampai akhir 2021 ada uji petik 16 usaha dan penyerahan sertifikat," kata Koster.
Tidak cukup pada sertifikasi, Pemerintah Provinsi juga meminta pelaku usaha wisata, terutama pemilik hotel dan resort untuk memastikan struktur bangunan milik mereka aman terhadap potensi bencana dan memiliki sarana kebencanaan yang memadai.
"Pemilik hotel dan tempat wisata lainnya, juga harus memiliki manajemen risiko bencana, mengedukasi potensi bencana ke pegawai dan pengunjung, dan melakukan simulasi secara rutin, serta turut membangun ketangguhan masyarakat di sekitar (lokasi hotel dan tempat wisata)," kata Gubernur Bali.