Jakarta (ANTARA) - Pemilihan umum menjadi ajang kontestasi memilih pemimpin baik di tingkat pusat maupun di daerah yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali di Indonesia.
Selayaknya kontestasi, tentu dalam prosesnya ada persaingan maupun pertarungan dari para kandidat dalam memenangkan suara pemilih.
Banyak cara bisa mereka gunakan untuk memenangkan hati pemilih, mulai dari cara-cara baik yang mengikuti regulasi aturan main dalam pemilu. Kemdian tentu juga ada cara sebaliknya, menggunakan cara buruk yang bertentangan dengan peraturan, etika, moral maupun sportivitas demi memenangkan kekuasaan.
Pada penyelenggaraan pemilihan umum diawal-awal Indonesia berada zaman reformasi cara-cara buruk maupun kampanye hitam yang dilakukan lebih pada bersifat fisik, baik serangan terhadap kandidat maupun terhadap penyelenggara pemilu.
Namun, belakangan semakin berkembangnya teknologi informasi pola pertarungan ternyata tidak hanya pada di dunia nyata saja, kini pertarungan bergeser pada ruang digital dalam jaringan internet.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan beberapa tahun yang lalu serangan dan pertarungan di ruang digital memang telah ada, namun hanya sebatas pada jalur atau kanal besar saja, seperti menyerang laman internet milik KPU, atau kanal besar lainnya yang menyangkut dengan pemilu.
Kemudian, berkembangnya teknologi informasi dan bertumbuhnya media sosial, bentuk serangan maupun pertarungan pemilu juga ikut berkembang.
Baca juga: Polda Bali: Pulau Dewata tidak rawan hoaks
Belakangan, serangan berkembang ke hal-hal detail yang lebih spesifik, bentuk pertarungan-nya juga melebar dengan bentuk hoaks, bahkan kampanye hitam di media sosial. Korban serangan itu tidak hanya sesama kandidat tapi juga penyelenggara pemilu dan orang-orang yang berkaitan dengan kontestasi.
Kalau sekarang itu sudah menyerang akun, email, WhatsApp-nya Arief Budiman, sekarang air mengalir (serangan) sudah pada jalur kecil-kecil itu (serangan spesifik yang lebih detil), sehingga kita sulit mengontrol itu. Berkembang lagi, belakangan menjadi luar biasa dengan memanfaatkan media sosial hoaks bertebaran luar biasa" kata dia mencontohkan.
Pada 2020 ini, Indonesia kembali akan menggelar pesta demokrasi, yakni Pemilihan Kepala Daerah Serentak yang kini akan memasuki tahapan pendaftaran calon pada 4-6 September mendatang.
"Bagaimana dengan 2020, 2020 kita menghadapi situasi yang berbeda, kita menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di tengah pandemik, yang KPU kemudian merancang yang kira-kira ada pergeseran pola," ujar Arief.
Dengan perkembangan ruang digital, ditambah saat ini Indonesia dalam kondisi pandemik, tentunya banyak aktivitas pemilu akan beralih pada bentuk virtual.
Hal itu tentunya menambah potensi ruang digital yang tidak sehat, karena hoaks, SARA kampanye negatif bahkan kampanye hitam yang mungkin dimanfaatkan oleh kandidat untuk meraup suara pemilih.
Oleh sebab itu, mewujudkan Pilkada Serentak 2020 dengan ruang digital yang sehat menjadi tantangan berbagai pihak apalagi dengan kompleksitas dan kondisi bangsa saat ini.
Baca juga: Polda Bali: media massa dukung pilkada aman
Mewujudkan
Mewujudkan Pemilihan kepala daerah serentak dengan ruang digital yang sehat tentunya bukan perkara mudah, tetapi hal itu harus terwujud demi demokrasi sehat, berkualitas dan juga persatuan.
Sebagai ikhtiar, Badan Pengawas Pemilu RI menginisiasi upaya tersebut dengan membuat nota kesepakatan aksi (Memorandum of Action/MoA) bersama KPU serta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengawasi konten internet Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020.
Ketua Bawaslu Abhan menyebutkan kampanye lewat media dalam jaringan di internet untuk PIlkada Serentak 2020 diawasi lebih ketat.
“Kegiatan kampanye melalui tahapan pemilihan di media internet berpotensi disalahgunakan untuk mendiseminasikan konten-konten yang melawan hukum dan atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi penyelenggara pemilu, masyarakat, dan peserta pemilihan (pilkada)," ucap Abhan.
Dia menjelaskan nota kesepakatan itu merupakan kerja sama lanjutan dari nota kesepakatan aksi Pemilu 2019 dan Pilkada 2018 antara Bawaslu, KPU dan Kominfo.
"Akan tetapi, pada pengawasan konten internet tahun 2020 menambah pelibatan pihak Polri untuk penguatan kerja sama pengawasan dan penegakan hukum. Kita akan melakukan koordinasi dengan pihak 'cyber crime' Polri dalam menangani konten negatif di internet ini,” tuturnya.
Kemudian, tugas kerja pun dibagi menurut kewenangan-nya. KPU memiliki wewenang menyediakan informasi data tim kampanye serta akun media sosial peserta pilkada yang sudah didaftarkan sebelumnya.
Baca juga: PWI: pers bertugas luruskan berita hoaks
Sementara, Kemkominfo berwenang menindaklanjuti rekomendasi hasil pengawasan dan melakukan penanganan konten internet sesuai aturan seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang penanganan konten internet bermuatan negatif.
Abhan menyatakan Bawaslu setidaknya melaksanakan empat tugas. Pertama, menyediakan hasil pengawasan Pilkada Serentak 2020 terkait konten internet yang melanggar ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Tugas kedua, menyediakan data laporan masyarakat terkait akun konten internet memuat informasi melanggar ketentuan peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai pilkada.
Selanjutnya yang ketiga, menyediakan analisis hasil kajian pengawasan terkait media sosial dan kampanye tahapan pilkada. Kemudian keempat, memfasilitasi kegiatan koordinasi para pihak pemangku kepentingan dalam menunjang pengawasan konten internet untuk Pilkada Serentak 2020.
Kemudian, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate juga menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan Pilkada 2020 tanpa adanya hoaks atau konten negatif yang bertebaran di ruang digital.
"Saya menggarisbawahi betul, akselerasi digital pada masa COVID-19, informasi dan telekomunikasi mempunyai peran vital untuk mendukung sirkulasi demokrasi kita. Tidak bisa pungkiri bahwa kecerdasan kita sebagai bangsa menentukan kualitas demokrasi kita," ujarnya.
Kemkominfo pun menurut dia melakukan tiga langkah strategis pencegahan penyebaran konten digital secara komprehensif dari tingkat hulu hingga hilir.
"Di tingkat hulu (upstream), kami melakukan kampanye, edukasi, dan sosialisasi terkait literasi digital secara masif melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi. Jika literasi digital tinggi, masyarakat tidak akan mudah termakan hoaks,” kata dia.
Kemudian pada tingkat middle-stream, Kominfo mememiliki kewenangan untuk menutup situs, platform, ataupun akun yang memuat konten negatif.
Dia mengatakan telah dan akan terus mengidentifikasi konten negatif untuk penanganan dan pengendalian yang lebih lanjut dengan dibantu mesin pengais informasi (AIS).
"Kami juga telah berkoordinasi dengan semua platform media sosial di Indonesia dalam komitmen menangani konten negatif di internet," imbuhnya.
Lalu di tingkat hilir (down-stream), Menkominfo menyatakan mendukung upaya Bareskrim Polri dalam menindak dan menegakkan hukum terhadap pembuat maupun penyebar hoaks serta konten negatif.
"Dalam Pilkada Serentak 2020, kolaborasi antara Kominfo, Polri bersama Bawaslu dan KPU menjadi semakin penting untuk mencegah dan memberantas penyebaran hoaks juga disinformasi," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengapresiasi kesepakatan bersama Bawaslu, KPU dan Kemkominfo tersebut yang bertekad mewujudkan Pilkada 2020 dengan ruang digital sehat.
"Saya mengapresiasi itu, nota kesepakatan tersebut merupakan langkah yang bagus. Namun, untuk mewujudkannya harus ada aksi dan eksekusi," ucapnya.
Baca juga: Gubernur Bali Minta Penegakan Hukum Penyebar "Hoax"
Titi pun memberikan beberapa catatan yang perlu ditindaklanjuti agar semangat mewujudkan pilkada sehat dan berkualitas termasuk soal ruang digital itu dapat terlaksana.
Pertama, menurut dirinya dukungan regulasi penyelenggaraan pemilu termasuk seputar pemanfaatan media daring harus kuat. Dalam artian regulasi atau aturan yang dibuat menyeluruh, teliti dan memiliki tafsir jelas.
Regulasi yang multi tafsir akan memberikan banyak celah. Celah itu memberi kesempatan kandidat tidak sportif untuk melancarkan aksi mereka meraup suara dengan cara-cara negatif bahkan kampanye hitam.
Kemudian, Bawaslu sebagai institusi yang mengawasi pemilu dan pemerintah yang memiliki wilayah mesti bisa melakukan pencegahan terhadap potensi tindakan-tindakan merusak kualitas pemilu bahkan potensi perpecahan di masyarakat.
Catatan lainnya yang juga penting untuk menciptakan pilkada yang sehat ruang digitalnya menurut dia yakni terkait literasi digital.
"Literasi digital diperlukan karena walaupun penegakan hukum harus tapi itu adalah jalan terakhir setelah pencegahan tidak memberi dampak. Nah oleh karena itu literasi digital menjadi sangat penting dalam rangka memerangi hoaks, ujaran kebencian, kampanye negatif maupun kampanye jahat," ucapnya.
Literasi menjadi obat bagi masyarakat dari penyebaran hoaks, kampanye negatif maupun kampanye jahat di tengah tingginya tingkat penggunaan ruang digital pada Pilkada Serentak 2020.
"Obat dari penyebaran hoaks itu literasi digital, karena kalau masyarakat kita terdidik atau terliterasi dengan baik mereka tentu mampu menolak atau menghadang penyebaran hoaks, kampanye negatif bahkan kampanye jahat," ujarnya.
Baca juga: Gubernur Bali minta media tingkatkan literasi informasi kepada masyarakat
Belajar dari sejarah
Untuk mewujudkan pilkada yang sehat dan berkualitas tentunya mesti memiliki langkah maupun cara tepat membendung penyebabnya, sehingga keputusan-keputusan yang diambil benar-benar mampu dijadikan menutup celah tindakan merusak kualitas pemilu.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti mengingatkan ada sejumlah praktik-praktik kotor yang dimanfaatkan kandidat ataupun pihak berkepentingan lainnya untuk merebut kemenangan di pemilu.
Belajar dari sejarah beberapa tahun terakhir ini cara-cara tidak terhormat merebut suara pemilih mulai bergeser dibanding penyelenggaraan pemilu sebelumnya.
Baca juga: PWI: independensi jadi tantangan pers pada tahun politik
Kasus Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu menurut Ray mesti menjadi pelajaran untuk penyelenggaraan Pilkada 2020, agar praktik kotor tidak menjadi kejadian berulang.
Dia menyebutkan politik identitas seperti di Pilkada DKI Jakarta pada 2017 sangat berbahaya bahkan dibandingkan dengan politik uang.
"Dan inilah persoalan terbesar di dalam politik identitas yang saya tidak yakin tidak akan terjadi di 2020, meskipun saya sudah mulai memetakan relatifnya di beberapa tempat kelihatan aman, tetapi tidak ada jaminan tidak akan terjadi," kata dia.
Baca juga: Presiden: media berperan penting bangun demokrasi
Praktik politik identitas memang tidak semasif intensitas penggunaan politik uang dan juga politik dinasti, grafik-nya juga tidak naik terus-menerus atau lebih fluktuatif. Daerah juga tidak banyak yang menggunakan politik identitas tersebut.
Namun, pelaksanaan demokrasi di Indonesia menerima dampak buruk yang jauh lebih besar dari penggunaan praktik politik identitas itu.
"Ancaman politik identitas ini jauh lebih berbahaya dari politik uang, karena tiga sebab, pertama politik identitas tidak bersifat temporal seperti politik uang, politik uang dia hanya berlaku pada waktu tertentu saja," tutur-nya.
Kemudian, tidak ada praktik politik uang yang terjadi setelah kepala daerah terpilih ditetapkan atau praktik ini akan berakhir dalam waktu tertentu, namun politik identitas tetap terjadi meski kepala daerah sudah menjabat.
Politik uang juga hanya bersifat lokal terjadi di daerah pemilihan saja, sementara politik identitas meskipun satu daerah yang menyelenggarakan pilkada, namun pengaruhnya bisa menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Praktik politik identitas juga memicu keterbelahan di tengah masyarakat, dan hal itu tidak terjadi di politik uang. Contohnya, kejadian di Pilkada DKI Jakarta sampai sekarang hampir belum bisa sembuh luka akibat politik identitas.