Denpasar (ANTARA) - DPRD Provinsi Bali kembali melakukan pembahasan Rancangan Perda (Ranperda) Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, yakni salah satunya menyangkut sistem pengupahan.
Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta, yang juga ketua pansus dalam keterangan yang diterima di Denpasar, Rabu, menyebutkan pihaknya bertugas membahas rancangan aturan ini, yakni sistem pengupahan tersebut sempat menjadi masukan yang ditawarkan dalam pembahasan.
Menurut politikus PDIP, sistem pengupahan ini diharapkan bisa menjadi solusi atas persoalan klasik selama ini, yang berkaitan dengan upah minimum. Selama ini, masih ada perusahaan yang belum menerapkan upah minimum, baik di tingkat provinsi atau kabupaten dan kota. Padahal nilai yang ditetapkan sudah paling kecil.
"Sistem pengupahan ini muncul sebagai masukan dalam pembahasan yang digelar Panitia Khusus (Pansus) Ranperda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan DPRD Bali. Kebetulan, dalam pembahasan kedua ini, banyak pihak yang mulai dilibatkan. Tidak seperti saat pertemuan pertama pada minggu lalu," katanya.
Dalam pembahasan kali ini, yang dilibatkan tidak hanya pihak pemerintah, seperti Dinas Tenaga Kerja atau Bagian Hukum dan HAM dari seluruh pemerintah kabupaten/kota di Bali. Tetapi juga melibatkan juga beberapa serikat pekerja.
"Ada juga yang sanggup memberikan di atas upah minimum, tetapi tetap memberikan sesuai nilai paling rendah dari upah minimum yang ditetapkan," katanya.
Baca juga: DPRD Bali percepat godok Ranperda Perlidungan Tenaga Kerja
Mengenai sistem pengupahan ini, Nyoman Parta mengaku perlu dibahas lebih detail lagi. Begitu juga dengan rumusan mengenai kualitas hidup layak (KHL).
Dia mengatakan KHL tidak boleh dibenturkan dengan upah minimum. Karena sejatinya, nilai upah minimum tersebut diberikan untuk para pekerja yang masih pemula atau baru. Atau bekerja pada masa tertentu. “Bahkan, dulu sejarahnya, upah minimum ini diberikan untuk pekerja perempuan yang diam di rumah. Tapi sekarang justru diberikan untuk ke semua pekerja," ujarnya.
Demikian halnya mengenai pekerja yang berstatus kontrak yang biasa diterapkan pada industri pariwisata. Masukan yang diterima dari Serikat Pekerja Pariwisata mengharapkan adanya batasan kontrak maksimal empat tahun.
"Tentu ada resiko pemutusan. Tapi itu harus dengan pengawasan yang ketat. Serta kami akan aktifkan lagi Tripartit yang sudah sepuluh tahun ini tidak aktif," kata Nyoman Parta menegaskan.(*)
Baca juga: DPRD Bali ajukan raperda penyelenggaraan ketenagakerjaan