Denpasar (Antaranews Bali) - Festival Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, Bali, akan mengangkat tradisi dan seni masyarakat petani sesuai dengan potensi desa setempat yang mengandalkan pertanian dengan pemandangan terasering persawahan sebagai daya tarik wisata.
"Sasarannya tidak hanya kunjungan wisatawan tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat petani dengan tradisi dan seninya agar berkelanjutan," kata Ketua Panitia Festival Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa di Denpasar, Rabu.
Dengan begitu, kata dia, pertanian dan aktivitas pariwisata dengan masyarakat di dalamnya dapat berjalan harmonis sesuai dengan tema tahun ini "Matha Subak" yang menekankan filosofi masyarakat Bali "Tri Hita Karana".
Kearifan lokal "Tri Hita Karana" itu bermakna tiga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.
Dia menjelaskan festival kedua yang digelar 14-15 September 2018 itu akan dilaksanakan di D`uma Jatiluwih, sebuah amphitheater yang berdiri di kawasan perbukitan di tengah sawah seluas sekitar 2 hektare tanpa mengganggu aktivitas pertanian setempat.
Selama dua hari, festival itu akan diramaikan dengan sejumlah kegiatan berupa tradisi dan seni dari petani setempat seperti aktivitas membersihkan areal persawahan khas Jatiluwih atau "mejukut".
Tradisi petani di kawasan pertanian yang masuk warisan budaya dunia dari badan PBB bidang pendidikan, ilmu dan budaya atau UNESCO itu diharapkan menjadi daya tarik bagi pengunjung baik lokal dan wisatawan mancanegara.
Kolaborasi musisi Gilang Ramadhan dengan petani wanita yang menabuh lesung atau alat tradisional dalam mengolah padi juga akan ditampilkan.
Tari rejang kolosal, tari bunga sandat, tari sekar jagat dan kesenian lain juga akan ditampilkan pada festival itu yang turut menghadirkan sejumlah musisi di antaranya Balawan, Indra Lesmana Keytar Trio, Leanna Rachel dan Ginda Bestari serta sejumlah musisi lainnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, festival juga menyuguhkan kuliner yang dibawakan oleh UMKM masyarakat desa setempat di antaranya minuman dan jajan khas Bali menggunakan beras merah, komoditas pertanian unggulan dari desa setempat.
Selain itu juga akan ada olahan ikan yang diproduksi para petani dari program mina padi atau lahan pertanian yang juga dimanfaatkan untuk budi daya perikanan.
Karya seni yang memanfaatkan bambu juga akan ditampilkan pada festival itu mengingat Jatiluwih juga dikenal sebagai daerah penghasil bambu.
Di areal perbukitan itu, pengunjung juga dapat menikmati penyewaan kemah dengan pemandangan terasering persawahan.
Nantinya, wahana itu juga diharapkan akan menjadi media bagi masyarakat untuk aktivitas berkesenian secara berkelanjutan.
Harga tiket masuk bagi pengunjung lokal dan domestik, lanjut dia, sebesar Rp15 ribu dan internasional sebesar Rp40 ribu per orang.
Baca juga: Karangasem gelar Festival Subak II
Baca juga: Festival Subak Karangasem berakhir
Ia mengharapkan adanya festival itu dapat mendongkrak kunjungan wisatawan di daya tarik wisata alam tersebut.
Nengah menambahkan selama tahun 2017 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Jatiluwih rata-rata mencapai sekitar 250 ribu, 80 persen di antaranya merupakan wisatawan asing kebanyakan dari Eropa.
Ia mengatakan, rata-rata kunjungan pada Agustus 2018 mencapai sekitar 1.600-1.800 orang per hari. (WDY).