Denpasar (Antaranews Bali) - Kepolisian Daerah Bali masih melengkapi alat bukti pendukung dugaan penipuan terlapor Dirut PT Indonesia Human Support Corporate (IHSC) Jalaludin dalam kasus penyaluran tenaga kerja Indonesia ke Jepang.
"Hingga saat ini kami masih mengumpulkan alat bukti pendukung guna membuktikan perbuatan terlapor (Jalaludin)," kata Waka Polda Bali Brigjen Pol I Gede Alit Widana didampingi Wadir Reskrimum Polda Bali, AKBP Sugeng Sudarso di Polda Bali, Rabu.
Ia mengatakan, kasus ini mencuat karena ada laporan dari dua korban I Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa dengan Nomor Polisi LP/97/III/SPKT, tertanggal 14 Maret 2018 terkait kasus penipuan yang dilakukan terlapor Jalaludin yang menjanjikan agar korban bisa bekerja ke Jepang.
Berdasarkan laporan korban, kasus penipuan yang terjadi di Kantor PT IHSC, Jalan Pulau Moyo, Gang Merpati, Nomor 8 Denpasar terjadi pada Oktober 2014.
Modus yang dilakukan terlapor dalam menggaet korbannya adalah dengan menjanjikan bisa memberangkatkan korban magang ke Jepang sebagai buruh bangunan dengan program kerja lima tahun.
Para korban dijanjikan mendapat penghasilan Rp18 juta hingga Rp20 juta per bulan dan para korban juga dijanjikan pada tahun kedua bekerja di Jepang mendapat kerja borongan dengan upah Rp30 juta hingga Rp50 juta per bulan.
Namun, untuk bisa memberangkatkan para korban ke Jepang, para pencari kerja ini diminta biaya keberangkatan Rp96 juta dengan perincian untuk biaya akomodasi Rp40 juta, uang jaminan Rp50 juta dan uang pelatihan Rp6 juta.
"Apabila si korban tidak memiliki uang tunai, maka bisa menggunakan jaminan sertifikat hak milik (SHM) yang akan dicarikan kredit di PT Bank Perkreditan Rakyat Bali Agung Sedana (BPR BAS) sebesar Rp150 juta dengan perincian uang untuk pemberangkatan Rp40 juta, uang jaminan Rp50 juta dan sisanya Rp60 juta akan digunakan untuk membayar angsuran di Bank, sebelum kandidat mendapat penghasilan di Jepang," ujarnya.
Ia mengatakan, apabila korban tidak jadi berangkat ke Jepang, maka SHM-nya akan dikembalikan. Namun, janji-janji yang disampaikan oleh Dirut PT IHSC tidak terealisasi setelah korban membayar uang pelatihan Rp6 juta dan menyerahkan SHM miliknya kepada perusahan jasa tenaga kerja ke luar negeri itu.
"Awalnya kedua korban memilih program magang di Jepang selama lima tahun, namun pada September 2015 saat kedua korban memastikan keberangkatanya kepada terlapor. Namun, terlapor malah menawarkan korban untuk mengganti program magang yang sebelumnya lima tahun menjadi tiga tahun," katanya.
Karena kedua korban menolak hal itu, maka menyatakan mundur dan meminta agar SHM miliknya dikembalikan. Saat itu juga, terlapor menyanggupi akan segera mengembalikan SHM milik korban.
"Namun, saat korban menunggu kembali SHM-nya dikembalikan, pada Februari 2016, pihak PT BPR BAS mendatangi rumah korban untuk menagih angsuran perbulan Rp3 juta, sehingga korban kaget karena merasa tidak pernah menerima uang dan telah mengundurkan diri berangkat magang ke Jepang," katanya.
Akibat kejadian ini, korban melapor ke Polda Bali pada 14 Maret 2018 karena merasa ditipu dan SHM-nya digelapkan oleh terlapor.
"Dalam kasus ini kami masih belum tetapkan terlapor sebagai tersangka. Namun, apabila cukup alat bukti pidana penipuan dan penggelapan, maka kami sangkakan dengan Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP dengan ancaman hukuman pidana empat tahun," katanya.(WDY)