Denpasar (Antara Bali) - Praktisi ekonomi Ida Bagus Kade Perdana menilai tahun 2017 merupakan momentum tepat untuk melakukan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan angka nominal nilai mata uang karena fundamental ekonomi nasional semakin memiliki daya tahan dan sehat.
"Tahun 2017 merupakan momentum yang sangat baik dan tepat untuk melaksanakan kebijakan redenominasi Rupiah yang diharapkan mampu mendongkrak dan mendorong peningkatan daya beli masyarakat menjadi semakin baik," katanya di Denpasar, Selasa.
Mantan Direktur Utama Bank Sinar Harapan Bali (sekarang, Bank Mandiri Taspen Pos) itu menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang membaik dan meningkat tahun 2016 menjadi 5,02 persen dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 4,88 persen menjadi salah satu faktor untuk merealisasikan redenominasi.
Indikator lainnya, lanjut Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali Bidang Moneter dan Fiskal itu, inflasi yang rendah sebesar 3,02 persen merupakan angka terendah sepanjang beberapa dekade dan suku bunga acuan BI seven days repo rate yang terjaga di level 4,75 persen.
Pria yang 41 tahun berkecimpung di dunia perbankan (eks Bank Bumi Daya dan Bank Mandiri) itu mengatakan cadangan devisa terus menguat pada posisi akhir 2016 berjumlah sebesar 116,4 miliar dolar AS, atau meningkat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 99,4 miliar dolar AS.
Kurs mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS relatif stabil dan berfluktuasi terkendali, neraca pembayaran Indonesia tahun 2016 yang mencatat surplus yang cukup besar ditengah kondisi global yang tidak menguntungkan yakni 12,1 miliar dolar AS.
Selain itu kinerja ekspor non-migas meningkat mencapai 36,3 miliar dolar AS, utang Indonesia masih aman dengan rasio masih berada dibawah 30 persen dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga masih berada dibawah ketentuan yang diperkenan maksimum 3 persen juga menjadi indikator realisasi redenominasi.
"Keberhasilan pelaksanaan `tax amnesty` merupakan yang terbaik di dunia memperkuat keuangan pemerintah serta menimbulkan kepercayaan dan reputasi pemerintah yang semakin terapresiasi," imbuhnya.
Mata uang rupiah, lanjut dia, merupakan alat pembayaran yang memiliki pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang pernah mencetak 500.000 Dong dengan tidak memperhitungkan negara Zimbabwe yang pernah mencetak 100 triliun dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.
Untuk itu, Indonesia perlu juga belajar dari negara yang gagal menerapkan redenominasi seperti Rusia, Argentina, Brazil, Zimbabwe dan Korea Utara, agar kebijakan itu benar-benar efektif.
"Penyebab kegagalan antara lain karena saatnya tidak tepat, tren fundamental ekonomi yang buruk, kebijakan makro yang tidak sehat, stok uang baru yang tidak memadai, minimnya sosialisasi dan perekonomian yang tidak stabil serta inflasi yang tidak terkendali," ucap Perdana.
Bank Indonesia, kata dia, sejak tahun 2013 telah mengajukan Rancangan Undang-undang Redenominasi Rupiah kepada DPR RI untuk mendapatkan pengesahan yang diharapkan tahun 2014 bisa terwujud.
Namun, kenyataanya situasi ekonomi Indonesia tahun 2014 yang kurang bagus sehingga kebijakan tersebut saat itu urung dilakukan.
"Adanya redenominasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena masyarakat akan beralih lebih banyak melakukan investasi daripada menyimpan uang," katanya.
Penyesuaian redenominasi ditengah masyarakat, lanjut dia, paling lambat bisa dilakukan hingga tujuh tahun dan paling cepat tiga tahun apabila diiringi sosialisasi yang intensif. (WDY/DWA)