Jakarta (Antara Bali) - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) saat ini masih menunggu momentum yang tepat untuk implementasi redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah.
Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang (DPU) BI Asral Mashuri pada pelatihan jurnalis bertajuk "Temu Wartawan Daerah" di Jakarta, Rabu, menjelaskan bahwa implementasi redenominasi itu harus melihat kondisi ekonomi dan kesiapan bank sentral dan pemerintah.
Payung hukum terkait redenominasi masih dalam Rancangan Undang-undang (RUU) yang dijadwalkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2017.
"Proses ini masih di legislatif dan Undang-Undang belum dikeluarkan, kami terus memantau kegiatan redenominasi ini," katanya.
Meski masih dalam pembahasan, namun pihaknya telah melakukan ancang-ancang dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka tidak "terkejut" dengan kebijakan baru itu.
"Kami akan antisipasi dengan melakukan sosialisasi pada masa transisi nanti kami tidak langsung memutuskan nilai mata uang lama namun akan dikeluarkan secara paralel agar masyarakat terbiasa supaya tidak salah hitung," ucapnya.
Ia memberi gambaran bahwa masa transisi redenominasi itu bisa berlangsung selama tiga tahun hingga masyarakat dinilai terbiasa dengan mata uang baru.
Wacana redenominasi sempat bergulir dengan tujuan agar nilai mata uang dapat lebih sederhana dan tidak terlalu banyak bilangan nol. Misalnya, nilai Rp 1.000 disederhanakan menjadi Rp1.
Asral lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk mencetak uang rupiah, pihaknya memerlukan proses yang panjang terdiri dari enam proses mulai dari perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan, dan penarikan serta pemusnahan.
Pemerintah bersama BI, mencetak uang sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan asumsi makro ekonomi di antaranya menyangkut pendapatan domestik bruto, inflasi, nilai tukar dan suku bunga. (WDY)