Yogyakarta (Antara Bali) - Kesenjangan tingkat pendapatan masyarakat di
Indonesia jauh lebih tinggi melampaui perkiraan masyarakat, kata ekonom
Bank Dunia, Ririn Salwa Purnamasari.
"Masyarakat Indonesia merasa kesenjangan/ketimpangan sudah terlalu
tinggi, padahal kenyataannya ketimpangan yang terjadi justru lebih
tinggi dari yang mereka perkirakan," katanya dalam seminar "Kemiskinan
dan Ketimpangan di Indonesia: Perspektif Kerakyatan" di Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu.
Hal itu disimpulkan dengan merujuk hasil survei persepsi
ketimpangan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2014
terhadap 3.000 sampel penduduk Indonesia.
Dalam hasil survei itu tingkat ketimpangan yang diperkirakan
responden mencapai 38 persen, padahal dalam kondisi sebenarnya tingkat
ketimpangan telah mencapai 49 persen penduduk Indonesia.
"Sementara tingkat ketimpangan menurut responden seharusnya hanya 28 persen," katanya.
Menurut Ririn, penanganan ketimpangan nasional perlu menjadi agenda
prioritas pemerintah saat ini. Peningkatan ketimpangan yang dinilainya
melaju cukup cepat dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas sosial.
Ia mengatakan, meski dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah
cukup baik dan tingkat kemiskinan melambat, namun laju peningkatan
ketimpangan (koefisien gini) masyarakat Indonesia relatif tinggi
mencapai 10 poin setiap tahun.
Terjadinya ketimpangan di Indonesia, menurut dia, antara lain
karena belum adanya pemerataan dalam hasil pembangunan nasional.
Sesuai data Bank Dunia, 50 persen pendapatan negara masih dinikmati oleh penduduk terkaya, sisanya dibagi rata.
Berdasarkan data Bank Dunia pada 2002 konsumsi dari 10 persen
penduduk terkaya di Indonesia sama banyaknya dengan total konsumsi dari
42 persen penduduk termiskin.
Selanjutnya, pada 2014 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54 persen penduduk termiskin.
Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Rahma Iryanti mengatakan, untuk memutus siklus ketimpangan antargenerasi
pemerintah telah menetapkan berbagai strategi pembangunan nasional
diantaranya dengan memperkuat sektor usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM).
Kredit usaha rakyat (KUR) yang pada 2016, menurut dia, akan
disalurkan Rp100 triliun disertai subsidi bunga pinjaman yang
dialokasikan mencapai Rp10,5 triliun, agar cukup ideal untuk mendorong
produktivitas serta pertumbuhan jumlah pelaku usaha.
"Tinggal jangan sampai bank penyalur KUR hanya menyasar pelaku usaha yang sudah dianggap bankable saja. Untuk hal itu kami akan lakukan intervensi langsung," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Anwar Sanusi, optimistis melalui
dana desa yang tahun ini dialokasikan Rp60 triliun mampu mengentaskan
kemiskinan hingga di pelosok daerah.
"Dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur usaha padat karya," katanya.
Adapun Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas
Gadjah Mada Agus Heruanto Hadna menilai perlu ada perubahan cara pandang
pemerintah dalam merumuskan parameter kemiskinan.
Untuk menentukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang efektif,
maka definisi dan parameter kemiskinan yang tepat, menurut dia, sangat
dibutuhkan.
Menurut dia, penghitungan kemiskinan secara moneter yang selama ini
digunakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum cukup menggambarkan
kondisi riil kemiskinan di tingkat daerah.
"Ada permasalahan
serta parameter kemiskinan yang selama ini terlalu mengandalkan data
moneter. Padahal harus dilihat secara komprehensif dan beragam," ujarnya
menambahkan. (WDY)
Bank Dunia: Kesenjangan RI Lampaui Perkiraan Masyarakat
Sabtu, 9 April 2016 21:02 WIB