Denpasar (Antara Bali) - Hakim tunggal Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Achmed Peten Sili meminta saksi ahli hukum pidana dan acara pidana, DR Tomi Sihotang, fokus memberikan penjelasan sesuai bidangnya dan tetap mengarah pada substansi yang ditanyakan.
"Sekali lagi saya ingatkan anda bahwa jangan menjelaskan pokok di luar bidang anda karena merembet ke permasalahan lainnya, jadi fokus dengan yang saya tanyakan dan jangan menjelaskan substansi forensik," ujar Peten Sili dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa.
Dalam sidang itu, hakim mempertanyakan apakah hasil pemeriksaan penyidik untuk penemuan luka-luka pada jenazah dapat dijadikan bukti peyidikan untuk mengungkap kasus pembunuhan Engeline yang nantinya dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Namun, jawaban dari saksi ahli pidana yang diajukan kuasa hukum Margerit itu justru membuat hakim geram karena tidak menjawab pada inti pertanyaan namun membeberkan hasil pemeriksaan forensik yang bukan menjadi kewenangannya.
"Hasil pemeriksaan forensik ditemukan adanya luka-luka, namun tidak ada keterkaitan dengan tersangka karena dari awal belum dapat dijadikan barang bukti dan harus ada bukti keterkaitan tersangka dengan luka yang dilalami korban," ujar saksi ahli yang merupakan Dosen Umpad itu.
Untuk itu, pihaknya mengingatkan kembali kepada saksi agar tidak merembet ke substansi hasil pemeriksaan forensik yang dilakukan tim forensik RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam sidang itu, salah satu kuasa hukum Margrit Maju Posko Simbolon mempertanyakan apakah penyidik harus membuktikan alat bukti sebagai unsur tambahan.
Saksi menjawab untuk membuktikan alat bukti itu harus ada unsur tambahan lain yaitu adanya motivasi pembunuhan dari pelaku selain pasal 338 dan 340. "Kalau tidak maka persidangan akan menjadi bingung," ujarnya.
Saksi ahli hukum pidana menjelaskan bahwa dalam kasus pidana pembunuhan pasti ada segitiga pembuktian, yakni ada korban, alat bukti, dan tersangka.
Kemudian, Penyidik harus dapat mengungkapkan bahwa korban meninggal disebabkan karena adanya alat bukti yang digunakan untuk membunuh dan membuktikan alat bukti itu ada hubungan dengan tersangka Margrit.
"Penyidik harus membuktikan tersangka yang melakukan pembunuhan itu dengan ada hubungannya alat bukti antara korban dan tersangka," ujar Tomi.
Mendengar penjelasan saksi ahli hukum pidana itu, hakim meminta pihak termohon dan pemohon untuk membuat kesimpulan dari sidang tersebut yang dibacakan pada Rabu (29/7) nanti, yang kemungkinan dilanjutkan dengan pembacaan putusan praperadilan.
Sebelumnya, Tim penasehat hukum tersangka menyatakan termohon (Polisi) yang menetapkan pemohon (Margrit Megawe) sebagai tersangka yang dituduh melanggar Pasal 340 KUHP, subsider Pasal 338 KUHP, Pasal 353 Ayat 3 KUHP (lebih subsider) bertentangan dengan Pasal 1 Angka 14 KUHAP jo putusan MK Nomor 21.
Selain itu, pihaknya menyatakan penetapan Pasal 351 Ayat 3 KUHP, atau Pasal 76 C jo Pasal 80 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang dilaporkan polisi pada 10 Juni 2015, juga bertentangan dengan hukum.
Penasehat hukum tersangka menyatakan produk hukum dari kepolisian baik itu penyidik dan penetapan permohonan Margrit sebagai tersangka juga tidak sah dan batal demi hukum.
Penasehat hukum Margrit lantas menyatakan akan menghadirkan saksi ahli dari hukum pidana untuk dihadirkan dalam persidangan hari ini. (WDY)