Denpasar (Antara Bali) - Bali meraup devisa sebesar 1,61 juta dolar AS dari ekspor komoditas perkebunan selama tahun 2012, meningkat 118,8 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 738.115,28 dolar AS.
"Peningkatan yang cukup signifikan itu berkat tiga jenis matadagangan perkebunan Bali semakin mampu bersaing di pasaran ekspor," kata Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali, I Ketut Teneng di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, meskipun perolehan devisa dari sektor perkebunan meningkat drastis, namun hanya mampu memberikan andil sebesar 0,31 persen dari total ekspor Bali sebesar 486,06 juta dolar AS, naik tipis dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 481,83 juta dolar AS.
Ketiga jenis matadagangan perkebunan yang menembus pasaran luar negeri meliputi kopi, kakao, dan vanili.
Ketut Teneng menambahkan, kakao menyumbangkan devisa terbesar di antara ketiga jenis komoditas perkebunan itu, yakni sebesar 1,01 juta dolar AS, menyusul vanili 389.900 dolar AS, dan dan kopi 205.300 dolar AS.
Ekspor komoditas kopi naik 1,17 persen dari 19,08 ton seharga 207.731dolar tahun 2012 menjadi 35,36 ton seharga 205.309 dolar AS pada pada tahun 2013.
Sementara vanili mencapai 14,30 ton seharga 389.900,48 ton selama 2013, meningkat 96,40 persen dibanding tahun sebelumnya hanya 198.519,50 dolar hasil pengapalan 8,30 ton vanili.
Dengan lancarnya pemasaran hasil perkebunan rakyat itu diharapkan petani daerah ini akan lebih bergairah untuk berproduksi.
Ada tiga daerah yang mengembangkan tanaman kakao yang cukup potensial di Bali, yakni di Kabupaten Tabanan seluas 5.063 hektare, menyusul Jembrana, 3.555 hektare, Buleleng 1.258 hektare dan sisanya di Badung, Klungkung, Bangli, dan Karangasem.
Produksi kakao di Bali selama 2012 tercatat hanya 4.950 ton, jumlah itu bertambah jika dibandingkan tahun sebelumnya hanya 4.525 ton, namun angka itu jauh lebih rendah dari pada produksi tahun 2009 yang mencapai 6.826 ton.
Berkurang produksi kakao di daerah ini akibat berbagai faktor, antara lain adanya serangan penyakit dan iklim yang kurang menentu sehingga produksi yang dihasilkan petani relatif berkurang, tutur Ketut Teneng. (WDY)