Denpasar (Antara Bali) - Sederetan seniman asing yang pernah bermukim di Bali, khususnya perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar dengan karya-karya yang terbingkai dalam seni budaya Bali mencuat kepermukaan yang dikenal dunia internasional hingga sekarang.
Kehadiran seniman asing yang memberikan sentuhan kepada seniman Bali mendapat sambutan positif dari masyarakat sehingga Ubud kini berkembang menjadi salah satu barometer perkembangan seni di Bali.
Seniman asing tersebut, antara lain Walter Spies (almarhum), warga negara Jerman, Antonio Blanco (alm), pelukis berdarah Spanyol, Andrien Jean Le Mayeur, seniman asal Belgia maupun Adrianus Wilhelmus Smith, pria kelahiran Belanda.
Walter Spies lewat karya kanvas maupun garapan tari mampu memperkenalkan Bali kepada dunia barat pada tahun 1930-an hingga akhirnya Bali dikenal mancanegara. Upaya itu juga dilakukan dengan mengajak seniman tabuh dan tari Bali mengadakan lawatan ke berbagai negara ke Eropa.
Demikian pula seniman lukis dan patung setempat dibina dengan tetap berpijak pada akar seni budaya Bali. Berkat keberhasilan Walter Spies membangun "jembatan" yang menghubungkan Bali dengan dunia barat, menjadikan para ilmuwan dan peneliti dunia tertarik untuk datang ke Bali.
Guru Besar Universitas Udayana Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. menilai Bali sejak awal perkembangan pariwisata memperoleh keuntungan dari kekuatan global atau hasil liputan secara meluas dari media massa internasional.
Sejak awal perkembangannya, industri pariwisata Bali memang telah menerima banyak keuntungan dari kekuatan global, termasuk Bali pada awalnya oleh orang-orang asing yang yang sebelumnya pernah menetap di Bali untuk menghasilkan karya seni.
Seniman mancanegara itu sejak lama telah mengenal dan menetap di Bali, seperti Andrien Jean Le Mayeur, seniman asal Belgia yang akhirnya mempersunting seorang wanita Bali.
Seniman yang tidak kalah penting adalah Miguel Covarrubias, seorang penulis, pelukis, dan antropolog kelahiran Meksiko pada tahun 1930 atau 84 tahun yang silam sempat menetap di Bali dan menulis buku berjudul "Island of Bali".
Walter Spies dan Miguel Covarrubias, dua warga negara asing datang dari Eropa pada perang dunia pertama, bertemu di Bali yang akhirnya menemukan ketenangan dan kedamaian.
Kedua seniman asing itu lewat keahliannya masing-masing memperkenalkan pesona seni budaya dan tari Bali kepada dunia barat, Walter Spies, warga negara Jerman misalnya merintis pertunjukan bersama dengan masyarakat Ubud, yakni I Wayan Limbak yang melahirkan tari kecak kini menjadi maskot tari Bali yang monomental dan tersohor ke penjuru dunia.
Aktivitas lainnya mengajar masyarakat untuk belajar melukis, memahat, mematung, dan mengukir, hingga melahirkan seniman-seniman andal yang keahliannya itu dapat diwariskan kepada generasi sekarang.
Sementara Miguel Covarrubias lewat tulisannya dalam buku berjudul "Island of Bali" memperkenalkan seni budaya dan pesona Bali kepada masyarakat internasional, yang mempunyai andil besar terhadap perkembangan pariwisata Pulau Dewata hingga sekarang.
Miguel Covarrubias dalam menulis buku tentang "Island of Bali" melakukan kajian yang mendalam dan mengungkapkan hampir dalam setiap upacara agama umat Hindu di Bali disertai persembahan seni.
Bahkan pasang surut dan hidup mati kesenian Bali sangat dipengaruhi implementasi kegiatan ritual keagamaan karena beragaman jenis kesenian mulai dari seni sastra, teater, musik, tari, hingga seni rupa menggeliat di tengah atmosfir relegiusitas.
Tuan Rumah
Darma Putra, alumnus master University of Sydney dan jenjang doktor di University of Queensland, keduanya di Australia itu menambahkan, kekuatan global itu mampu memberikan keuntungan terhadap Bali.
Ia mencontohkan pada bulan September dan Oktober 2013, hanya berselang seminggu, Bali menjadi tuan rumah untuk dua kegiatan bertaraf internasional di kawasan wisata Nusa Dua, Kabupaten Badung.
Kegiatan pertama kontes kecantikan Miss World menyusul pertemuan puncak pemimpin APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). Ribuan wartawan dari dalam dan luar negeri meliput kedua kegiatan internasional tersebut.
Dari sudut pandang pariwisata, liputan para jurnalis atas kedua peristiwa internasional ini memberikan keuntungan promosi bagi Bali sebagai destinasi wisata ke dunia luas.
Penulis buku berjudul "Tourism, Development, and Terrorism in Bali" bersama Prof. Michael Hitchcock (Inggris) itu menilai promosi bagi Bali secara meluas dan cuma-cuma itu bukan merupakan hal yang pertama kali mendapat keuntungan liputan luas dari media massa internasional.
Industri pariwisata Bali sejak awal perkembangannya telah menerima banyak keuntungan dari kekuatan global. Mula-mula melalui saluran kekuasaan kolonial pada awal abad ke-20, kemudian melalui korporasi nasional dan multinasional.
Penetapan lanskap budaya Bali (Bali Cultural Landscape) pada bulan Juni 2012 sebagai warisan budaya UNESCO merupakan bukti utama tentang bagaimana Bali mendapat pengakuan dari institusi global sebagai destinasi wisata yang unik.
Bali menyiapkan pengalaman penarik mengenai bagaimana kerja sama antara global dan lokal dalam membangun pariwisata Bali dalam prinsip keberlanjutan.
Selain itu, tetap bertekad melestarikan kesenian dan kebudayaan lokal sebagai salah satu daya tarik utamanya.
Ada banyak contoh mengenai bagaimana kedua kekuatan lokal dan global memberikan kontribusi positif dalam pembangunan kepariwisataan Pulau Dewata.
Meskipun demikian, dampak proses globalisasi juga menimbulkan banyak persoalan dan gangguan terhadap kemampuan Bali dalam mengontrol penuh pembangunannya.
Sehubungan dengan hal itu Bali sendiri telah melakukan terobosan dan upaya menghadapi persoalan-persoalan dalam pembangunan secara umum dan pembangunan kepariwisataan secara khusus.
Kepariwisataan merupakan salah satu bentuk dari proses globalisasi mengingat pariwisata mendorong peredaran orang-orang, barang, dan item-item kebudayaan serta nilai-nilai ke seluruh dunia.
Kepariwisataan menghubungkan tempat-tempat di muka bumi serta kebudayaan yang saling pengaruh antara tamu dan tuan rumah maupun antara kekuatan eksternal dan internal adalah sebuah keniscayaan.
Dalam konteks Bali, proses pertemuan antara kekuatan eksternal dan internal telah berlangsung sejak lama. Namun, semakin intensif dalam beberapa dekade belakangan ini, khususnya setelah terjadi kemajuan bidang transportasi, teknologi, dan kepariwisataan.
Proses negosiasi antara kekuatan global dan lokal berlangsung sangat kompleks, yakni kekuatan lokal melewati proses globalisasi dan kekuatan global melewati proses lokalisasi.
Proses tersebut berlangsung dua arah, bukan satu mendominasi dan meniadakan yang lain, satu menaklukkan dan menghabiskan yang lain, melainkan saling asah sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh masyarakat pendukungnya, tutur Nyoman Darma Putra. (LHS)