Denpasar, Bali (ANTARA) -
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali memaparkan lima strategi utama untuk menggenjot perekonomian di Pulau Dewata pada 2026."Prospek ekonomi Bali pada 2026 sampai 2027 tumbuh lebih tinggi di atas nasional,” kata Kepala BI Bali Erwin Soeriadimadja di sela Pertemuan Tahunan BI 2025 di Denpasar, Bali, Selasa.
Adapun lima strategi yang disebut Panca Kerti itu yakni memperkuat sektor ekonomi di luar pariwisata yaitu pertanian dan ekonomi kreatif.
Caranya, lanjut dia, dengan menciptakan wirausaha, penyediaan ruang usaha kepada UMKM dan perluasan pasar.
Investasi, kata dia, harapannya diarahkan kepada sektor nonpariwisata termasuk pendukung hilirisasi dengan memanfaatkan komoditas unggulan di Bali seperti kopi, rumput laut, garam dan cokelat serta optimalisasi dua kawasan ekonomi khusus (KEK) Kesehatan Sanur dan Kura-Kura Bali.
Kedua, pariwisata berkualitas dengan diversifikasi destinasi wisata sesuai karakter dan budaya lokal dengan tetap berlandaskan konsep Tri Hita Karana.
Ketiga, lanjut dia, mengoptimalkan rantai pasok melalui peran BUMD, kerja sama antardaerah serta kerja sama dalam tim pengendalian inflasi daerah (TPID).
Tujuannya, untuk mengendalikan kenaikan harga di tingkat konsumen dan menjaga daya beli masyarakat, ucapnya lagi.
Keempat, menggenjot pembiayaan UMKM dan sektor prioritas, membentuk ekosistem hulu dan hilir serta meningkatkan literasi keuangan.
Terakhir, kata dia, akselerasi sistem pembayaran digital hingga pengawasan terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank atau money changer.
Sementara itu, bank sentral itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Bali selama 2025 mencapai pada batas atas 5,0 hingga 5,8 persen.
Sebesar 41 persen, lanjut dia, masih didominasi sektor pariwisata, sisanya pertanian, ekonomi kreatif dan investasi.
Sedangkan secara nasional pada 2026, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4,9 hingga 5,7 persen.
Erwin menekankan pentingnya sinergi lintas sektor pada 2026 mengingat diperkirakan masih diwarnai sejumlah tantangan di antaranya ketidakpastian pasar global akibat kebijakan proteksionisme Amerika Serikat, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, utang tinggi, suku bunga negara maju hingga risiko sistem keuangan global naik.
