Denpasar (Antara Bali) - Tes DNA perlu dilakukan guna memastikan pemilik darah yang menempel di bagian celana yang dipakai almarhum AA Narendra Prabangsa (43), wartawan Radar Bali yang tewas akibat aksi pembunuhan.
"Dalam kasus ini perlu dilakukan tes DNA," kata saksi ahli forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Mun'im Idris di depan sidang lanjutan kasus pembunuhan Prabangsa di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Selasa.
Hasil visum et repertum (VER) yang dilakukan Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, terhadap jenazah Prabangsa, disebutkan adanya bercak darah yang menempel di bagian celana korban, namun tidak dijelaskan darah tersebut milik siapa.
"Dalam visum tersebut hanya disebutkan jenis dari golongan darah, yakni AB. Ini memang identik dengan darah milik korban. Namun perlu diingat bahwa orang yang memiliki darah AB, tidak hanya Prabangsa, melainkan banyak orang," katanya, menjelaskan.
Mengingat itu, lanjut dia, jika dalam kasus ini masih ada kebimbangan tentang siapa pemilik darah yang sebenarnya, maka untuk memastikan itu perlu dilakukan tes DNA.
"Perlu tes DNA, sebab jika hanya mendasarkan pada identifikasi golongan darah semata, kebenaran yang didapat hanya sekitar 20 persen," ujar saksi ahli itu.
Demikian juga soal adanya ciri-ciri khusus yang dibenarkan pihak keluarga korban, menurutnya hal itu belumlah cukup untuk membuktikan jika darah tersebut milik korban.
Mun'im dihadirkan penasehat hukum sebagai saksi ade carge (meringankan) untuk terdakwa Nyoman Susrama dalam sidang kasus pembunuhan terhadap korban Prabangsa yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djumain SH.
Dinyatakan Mun'im, kematian Prabangsa dalam istilah forensik disebabkab karena kekerasan tumpul bukan karena benda tumpul.
Saat menjawab pertanyaan Sugeng Teguh Santosa SH, penasihat hukum Susrama, soal benda tumpul dimaksud, Mun'im menyatakan, bisa saja kemungkinan benda tumpul itu seperti batu, balok atau baling-baling perahu dan lainnya.
Dokter forensik, kata Mun'im, hanya bisa menjelaskan korban tewas akibat kekerasan tumpul namun tidak bisa menyebutkan benda apa yang dipakai untuk menghabisi nyawa korban.
"Bisa saja berupa batu, kayu atau yang lainnya," sebut Mun'im yang berkecimpung di dunia forensik untuk kepolisian sejak tahun 1979.
Selain memandang perlunya dilakukan tes DNA terhadap berkas darah yang menempel di celana Prabangsa, Mun'im juga mengatakan bahwa korban saat dibuang ke laut masih dalam kondisi hidup dan sadar.
"Selama dua sampai tiga menit Prabangsa masih bisa bernapas, namun akhirnya mati lemas dan mengalami fase tenggelam," katanya.
Guna mengetahui penyebab korban meninggal dunia, bisa juga dilihat dari cairan yang masuk dalam tubuh atau adanya benda-benda asing dalam tubuh Prabangsa.
Menjawab pertanyaan Sugeng soal kemungkinan hasil visum berbeda meski dilakukan sesuai standarisasi, Mun'im menegaskan hasil visum tidak mungkin berbeda.
Dari aspek hukum, kata dia, visum RSU Sanglah terhadap Prabangsa sudah sah atau bisa dipertanggungjawabkan, termasuk pula kesimpulan dokter atas hasil visum tersebut.
"Kesimpulan dokter memang sifatnya subyektif dan itu bergantung jam terbang, fasilitas atau pengalaman. Namun fakta tidak boleh berbeda," katanya.
Dinyatakan pula, pemeriksaan darah merupakan prosedur rutin untuk kelengkapan identifikasi forensik yang bisa diambilkan dari kuku, rambut sekalipun korban sudah mati.
Dalam kesempatan itu, Sugeng mempertanyakan tidak dilakukannya tes DNA oleh pihak kepolisian terhadap sampel darah yang menempel di celana Prabangsa.
"Siapapun bisa mengajukan tes DNA, kalau penasihat hukum mau mengajukan bisa saja, namun yang diberikan dokter nantinya bukan visum melainkan surat keterangan. Visum hanya diberikan untuk kepentingan kepolisian," ungkapnya.
Sidang dengan terdakwa Susrama akan dilanjutkan Senin mendatang. Kasus pembunuhan yang menyeret Susrama dan kawan-kawannya diduga dilakukan pada 11 Februari 2009 di rumah caleg PDIP di Banjar Petak, Bebalang, Kabupaten Bangli. (*)