Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali Made Arjaya mengusulkan penggunaan istilah desa adat untuk menggantikan istilah desa pakraman dalam upaya reinvestasi kekhususan budaya oleh pemerintah pusat kepada pemeritah daerah di Pulau Dewata itu.
"Sangat sulit jika membawa istilah desa pakraman ke pusat. Dan jika menggunakan istilah otonomi khusus, pusat sudah alergi," katanya saat menemui perwakilan Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB) di Denpasar, Senin.
Ketua FPHB Anak Agung Sudiana saat beraudiensi dengan pimpinan DPRD Bali itu mendesak pemerintah pusat merevisi Unddang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Mereka ditemui langsung oleh Ketua DPRD Bali Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi, Wakil Ketua DPRD Ida Bagus Putu Sukarta, dan Ketua Komisi I DPRD Made Arjaya.
Sekretaris FPHB Ngurah Karyadi menyampaikan maksud dari revisi UU itu agar masyarakat Pulau Dewata bisa mendapatkan kontribusi yang lebih untuk perlindungan budaya dari hasil pariwisata yang telah dihasilkan.
"Sungguh ironis di tengah hujan dolar dari industri pariwisata di Bali, namun masyarakat kita kian terpinggirkan dan banyak yang bertransmigrasi. Devisa yang dihasilkan Bali selama ini belum direinvestasi untuk perlindungan budaya. Memang sekarang masyarakat Bali masih bisa menanggung, tetapi makin hari akan makin memberatkan padahal industri pariwisata sangat tergantung dari budaya," katanya.
Menurut Arjaya, mau tidak mau untuk memuluskan perjuangan revisi UU ke DPR dan pemerintah pusat, nomenklatur desa adat harus dikembalikan.
"Dalam UUD 1945, berbagai UU, Perpu, dan peraturan lainnya semua memakai istilah desa adat. Permasalahannya di Bali nomenklaturnya berbeda, karena menggunakan istilah desa pakraman, perjuangan ke pusat akan sulit jika bertahan memakai nama desa pakraman," katanya. (LHS)
Arjaya Usul Gunakan Istilah Desa Adat
Senin, 10 September 2012 20:46 WIB