Singaraja, Buleleng (ANTARA) - Pakar pendidikan dan guru besar dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali, Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd., mengkritisi proses pendidikan yang berlangsung saat pandemi COVID-19 yang berlangsung lebih dari setahun ini.
"Satu tahun sudah pandemi COVID-19 memberikan kehidupan 'istimewa' bagi masyarakat dunia. Aktivitas yang menjadi sebuah rutinitas seolah dibuat tuntas tanpa adanya bekas. Praktik pendidikan pun menjadi salah satu yang dibuat 'murung'. 'Wajah' yang sebelumnya sudah beranjak cerah, kembali larut menjadi kusam," katanya di Singaraja, Selasa.
Baca juga: Undiksha kembangkan teknologi pewarnaan endek dengan fiksator nanopasta
Menurut Lasmawan, ada lima hal yang menjadi catatan bagaimana wajah pendidikan atau praktik pendidikan di masa pandemi. Pertama, menurunnya motivasi belajar siswa. Kedua, terjadi 'jetlag' para guru atas literasi teknologi. Guru yang sebelumnya terbiasa dengan pembelajaran tatap muka, menjadi kelabakan dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh.
"Masih ada guru yang awam bagaimana pembelajaran melalui zoom atau google meeting," kata Lasmawan yang menjabat sebagai Wakil Rektor II Undiksha ini.
Ketiga, lanjut Lasmawan, terdegradasinya hak pendidikan anak. Dalam hal ini, muncul penyamaran-penyamaran. Tetapi mau tidak mau, itulah fakta yang ada. Keempat, terjadi zero progress capaian prestasi.
Kini, praktik pendidikan lebih berorientasi pada 'yang penting jalan'. Tidak lagi memikirkan target apa yang harus dikejar dan bagaimana cara untuk mengejar. Meski demikian, hal itu patut tetap disyukuri, karena praktik pendidikan masih bertahan di tengah sandera oleh pandemi.
"Catatan kelima, pandemi ini telah memicu kekarut-marutan pada praktik pendidikan, dan ini tidak perlu dipermasalahkan," ujarnya.
Baca juga: Undiksha ciptakan teknologi batu cadas tiruan
Selain itu, lanjut Lasmawan, pandemi ini pun menyebabkan terjadinya pergeseran yang sangat substantif dari sisi pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM). Peran dan eksistensi guru tergantikan (terpaksa) oleh orangtua.
"Hal ini sebagai akibat diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kondisi ini memunculkan sebuah diksi logika atas keraguan akan kualitas dan capaian mutu pendidikan saat ini," ujarnya.
Kompleksitas persoalan tersebut, lanjut Lasmawan, menambah murung wajah pendidikan di Indonesia, sebab sebelumnya sudah ada berbagai persoalan yang belum mampu ditangani secara tuntas. Pandemi benar-benar pandemi menambah 'luka' pendidikan yang dalam fase penyembuhan.
"Persoalan itu cukup beragam, mulai dari belum meratanya akses dan fasilitas, belum meratanya ketersediaan ketersediaan sumber daya manusia di semua daerah dan di semua sekolah, alokasi pendanaan bidang pendidikan memang belum memadai," katanya.
Baca juga: Undiksha siap kembangkan Sapi Bali lewat MoU "Triple Helix"
Menurut Lasmawan, sistem tata kelola pendidikan juga masih belum padu. Apalagi dengan adanya kewenangan pada pemerintah kabupaten dan kota sebagai regulator praktik pendidikan dasar, kemudian provinsi sebagai regulator praktik pendidikan sekolah menengah, dan pusat sebagai sentral regulasinya.
"Hal ini sering memicu terjadi overlapping praktik dan satuan. Satuan yang dimaksud ada regulasi," katanya.
Di tengah situasi yang terbilang sulit ini, menurut Lasmawan, pemerintah tidak diam, sederet kebijakan telah dilahirkan sebagai cara agar 'kapal' pendidikan tidak karam terkikis pandemi COVID-19.
Setidaknya, kata Lasmwan, kebijakan pemerintah menyangkut delapan hal, yaitu penerapan pembelajaran jarak jauh, memberikan bantuan kuota internet bagi siswa, guru, mahasiswa, dosen, ada bantuan UKT bagi mahasiswa, ada kurikulum kedaruratan, ada asesmen pembelajaran untuk menggantikan pembelajaran yang berbasis tes, kemudian proses belajar mengajar diupayakan dan diinisiasi dengan model tatanan kehidupan baru.
Yang terpenting sekarang di sekolah, Mendikbud sudah memberikan diversifikasi penggunaan dana BOS. Ini masih menyisakan persoalan. Tidak semua sekolah atau belum semua sekolah memahami bagaimana melakukan diversifikasi penggunaaan dana BOS di era pandemi sekarang, dan sudah terjadi apa yang disebut pelandaian administrasi dan birokrasi.
Berada dalam situasi yang sulit, kata Lasmawan, masyarakat pun harus memiliki upaya untuk berbenah. Tidak ada lagi sikap menyalahkan pemerintah atau sekolah, atau bahkan guru. Tetapi yang perlu dilakukan adalah bergandengan tangan menyatukan tekad, sinergikan potensi, untuk menyambut era baru dunia pendidikan, memperbaiki apa yang sudah terjadi sebagai sebab mimpi buruk yang tidak pernah kita harapkan, yaitu pandemi COVID-19.
"Mau tidak mau kita harus tetap berpikir besar, berpikir bijak," katanya.
Caranya bagaimana? Lasmawan memaparkan, pertama, optimalisasi keadaan yang ada, karena tidak ada satu orang pun yang berharap situasi sekarang terjadi.
Kedua, memfungsionalkan secara lebih manajemen sekolah walaupun ini juga belum menjawab persoalan. Ketiga, sebagai orang timur, semua pihak sebenarnya selalu mengambil berkah di tengah persoalan.
"Di sinilah saatnya keterujian masyarakat mengenal praktik pendidikan. Artinya jika selama ini para orangtua lebih cenderung meletakkan tanggung jawab itu pada sekolah dan pemerintah, maka sekarang dengan kondisi pandemi COVID-19, orangtua jadi tahu, bagaimana sulitnyanya menjadi guru. Bagaimana sulitnya melayani anak dalam praktik pendidikan," katanya.
Keempat, kata Lasmawan, hal yang bisa dilakukan adalah menerapkan new normal dalam praktik pendidikan. Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini.
"Yang jadi pertanyaan, apakah persiapan ini sudah mampu menjawab atau membuat cerah wajah pendidikan kita? Jawaban itu ada pada diri masing-masing," katanya.