Singaraja (ANTARA) - Bagi masyarakat Hindu di "Pulau Dewata", Bali, peringatan Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 yang jatuh pada 25 Maret 2020 sangat sesuai dengan keadaan sekarang yang ditandai merebaknya pandemi virus corona baru atau COVID-19.
Esensi perayaan Nyepi adalah kembali "menepi" sejenak dari hiruk pikuk kehidupan. Secara ketat, umat Hindu menjalankan "catur brata", yakni tidak menyalakan api, tidak jalan-jalan, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang.
Hal itu berarti upaya antisipasi terhadap penyebaran COVID-19 dengan penerapan "social distancing" (pembatasan sosial) dan "physical distancing" (pembatasan fisik) tersebut justru mengembalikan esensi Hari Suci Nyepi dalam makna yang sesungguhnya.
Dengan demikian, rangkaian dan pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 menjadi berbeda dengan pelaksanaan Nyepi pada tahun-tahun sebelumnya.
Selain Nyepi dengan menjalankan "catur brata" secara penuh, umat Hindu kini harus waspada terhadap ancaman virus corona jenis baru itu yang telah menjadi pandemi global dengan menerapkan "social distancing" atau "physical distancing".
Hal itu juga membuat rangkaian perayaan Hari Suci Nyepi, seperti Tawur dan Pengerupukan, pada tahun ini perlu dijalankan umat secara situasional atau sejalan dengan imbauan dan surat edaran dari Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Desa Adat (MDA).
Surat edaran bersama itu, antara lain mengimbau umat mengurangi kerumunan dalam aktivitas upacara keagamaan.
Oleh karena itu, pawai ogoh-ogoh pada Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 sebaiknya tidak dilaksanakan, karena arak-arakan atau pawai ogoh-ogoh bukan merupakan rangkaian Hari Suci Nyepi sehingga tidak wajib untuk dilaksanakan.
Apabila pawai itu tetap dilaksanakan maka dalam pelaksanaannya agar mengikuti aturan tertentu, yaitu waktu arak-arakan ogoh-ogoh dilakukan pada 24 Maret 2020, mulai pukul 17.00 sampai dengan 19.00 Wita.
Baca juga: Ritual "Tawur Agung Kesanga" di Besakih dilakukan sederhana
Terkait dengan tempat pelaksanaan arak-arakan tersebut hanya di Wewidangan atau wilayah banjar adat setempat dengan penanggung jawab adalah bendesa adat dan prajuru banjar adat setempat agar bisa tetap berjalan dengan tertib dan disiplin.
Dalam rangkaian pelaksanaan Upacara Melasti, Tawur, Pengrupukan yang disertai dengan arak-arakan ogoh-ogoh, umat juga harus memperhatikan imbauan, antara alin membatasi jumlah peserta yang ikut dalam prosesi, sedangkan untuk para pemangku agar menggunakan "panyiratan" yang sudah bersih untuk "nyiratang tirta" kepada masyarakat.
Esensial
Terlepas dari teknis pelaksanaan ritual keagamaan dalam rangkaian perayaan Hari Suci Nyepi tahun ini, semua umat Hindu juga hendaknya becermin pada pandemi virus corona, yang maksudnya bahwa alam semesta dan Sang Pencipta sejatinya memberikan peringatan atau alarm bagi umat manusia agar pelaksanaan Nyepi dilakoni secara lebih esensial atau substansial.
Selama ini, serangkaian Nyepi tidak terlepas dari berbagai aktivitas ritual. Tentu saja, hal ini bagian dari kearifan lokal yang tidak bisa dikesampingkan
Namun, tidak sedikit oknum menyalahgunakan momentum perayaan Nyepi untuk melakukan hura-hura dan bahkan hingga terjadi huru hara, termasuk bersikap konsumtif yang berlebihan, hingga terjadi aksi borong berbagai barang oleh masyarakat. Belanja barang kebutuhan dalam jumlah yang berlebihan itu dengan alasan untuk stok selama Hari Nyepi.
Patut disayangkan pula, bahwa konsep Nyepi tidak sedikit ditentang di lapangan. Seolah melawan prinsip "catur brata" penyepian itu sendiri dengan saling hujat di media sosial (medsos) hingga menyebar foto yang menunjukkan kegiatan "liburan" justru saat sedang Hari Suci Nyepi.
Padahal, Nyepi memiliki makna dan pesan yang universal bagi seluruh umat manusia. Tak melulu untuk urusan laku spritualitas, namun juga berdampak terhadap lingkungan dan alam. Hari Raya Nyepi untuk memberikan kesempatan yang baik sebagai jeda sejenak dari eksploitasi manusia.
Bahkan, Nyepi tahun ini sebagai sangat relevan dengan kondisi di mana dunia sedang menghadapi pandemi virus corona dengan berbagai dampaknya.
Baca juga: Wapres: Spirit Nyepi sesuai dengan "social distancing"
Jauh sebelum istilah "social distancing" menjadi populis, hingga imbauan terkait dengan pembatasan orang untuk ke luar rumah guna melakukan berbagai beraktivitas, catur brata penyepian menawarkan "paket" lengkap untuk hal seperti itu.
Prinsipnya, Hari Suci Nyepi jika dilakukan dengan cara khusyuk akan membantu berbagai upaya untuk mengurangi penyebaran virus corona tersebut.
Momentum Nyepi kali ini mengajarkan umat untuk melakukan refleksi sejenak, menahan diri, dan berempati di tengah kondisi yang runyam akibat pandemi saat ini.
Selain itu, membawa umat Hindu merenungkan terkait dengan apa yang diperbuat, hal-hal yang baik dan yang buruk, sekaligus diberi kesempatan untuk merencanakan berbagai hal pada masa depan, untuk memasuki tahun baru.
Nyepi juga bukan sekadar tidak menyalakan api (listrik, internet, dan keluar rumah), namun hari suci tersebut juga ajaran yang mengingatkan umat Hindu agar tidak menyalakan hawa nafsu, marah, benci, dan dendam. Konteks Nyepi adalah pengendalian diri manusia.
Baca juga: Nyepi, wisatawan nikmati suasana Bali yang hening
Ya, COVID-19 mengajarkan untuk khusyuk dalam menjalankan esensi Nyepi dengan berhenti, menepi, mengosongkan diri dengan kesadaran di tengah mobilitas hawa nafsu.
*) Penulis adalah Ketua DPP Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Bali dan akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali
"Pembatasan sosial" kembalikan esensi Nyepi
Rabu, 25 Maret 2020 17:14 WIB
Nyepi juga bukan sekadar tidak menyalakan api (listrik, internet, dan keluar rumah), namun hari suci tersebut juga ajaran yang mengingatkan umat Hindu agar tidak menyalakan hawa nafsu, marah, benci, dan dendam. Konteks Nyepi adalah pengendalian diri