Beijing (ANTARA) - Sejumlah pengusaha dari Indonesia berkumpul di sebuah jamuan makan malam di Shanghai menjelang akhir Juli 2019.
Tentu bukan menu makan malam khas Nusantara yang membuat mereka tertarik hadir, melainkan juga pertemuan dengan Enggartiasto Lukita yang saat itu masih menjabat Menteri Perdagangan.
Segala keluh kesah dan unek-unek mereka tumpahkan di depan Enggartiasto yang malam itu juga didampingi oleh Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun.
Singkat kata, para pengusaha tersebut merasa diperlakukan tidak adil. "Tak jarang barang kami yang masuk ke sini dipersulit," ujar salah satu dari mereka sebelum menu makan malam tersaji di mejanya.
Faktanya, sampai saat ini defisit perdagangan Indonesia dengan China masih sangat mencolok, bagaikan langit dan bumi.
Pada 2018 Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar 21 miliar dolar AS. Pada periode Januari-Oktober 2019, selisih nilai dagang Indonesia dengan China itu sudah menyentuh angka 15,2 miliar dolar AS.
Artinya, kemitraan strategis dan komprehensif antara Indonesia dan China yang terjalin sejak 2013 masih sebatas pada jargon di tingkat elit.
Bahkan Dubes Djauhari menganggapnya kemitraan tersebut belum tercerminkan dalam angka-angka riil.
"Kemitraan strategis komprehensif itu kan seharusnya tidak sekadar teman biasa. Mestinya ada perlakuan yang istimewa," ujarnya.
Padahal hubungan antarkepala negara kedua belah pihak sudah cukup bagus, kerja sama bilateral pun sudah sangat pesat, bahkan menyentuh hampir semua lini.
Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia boleh iri dengan negara tetangga dalam menjalin hubungan dengan China.
"Saya sangat penasaran dengan negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Kenapa mereka lebih bagus daripada kami dalam hubungan dagang dengan China?" ujar Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Beijing Arief Hartawan dalam sebuah diskusi internasional di Beijing belum lama ini.
Selain pasarnya yang sangat besar, daya beli masyarakat China juga sangat tinggi seiring dengan pertumbuhan ekonominya yang memang tertinggi di dunia itu.
Kalau pun saat ini banyak perusahaan asal China, seperti Huawei, Xiaomi, Vivo, Oppo, ZTE, Wuling, BYD, Foton, dan Zhongtong sudah banyak merambah Indonesia, kenapa tidak sebaliknya?
Demikian halnya dengan jeruk Mandarin dan bawang putih dari China yang begitu mudah ditemukan di Indonesia. Sayangnya durian, pisang, manggis, alpukat dan buah tropis lainnya di lapak pedagang China tidak dari Indonesia?
Durian Musang King dari Malaysia kini sudah mulai mengancam pasar durian Montong dari Thailand. Mudah sekali mendapatkan durian dari negeri Jiran itu di pasar tradisional dan modern di China.
Manggis dari Indonesia sempat bertebaran di pasar dan swalayan di China pada awal tahun lalu, tapi sekarang sudah diambil alih oleh manggis-manggis Thailand.
Pisang, justru Filipina yang menguasai pasar China. Padahal jenisnya hanya cavendis. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki berbagai jenis pisang.
Lalu ada alpukat. Justru negara-negara Amerika Latin, seperti Chile, yang menjadi pemain kunci pasar buah tropis China itu. Padahal dari segi ukuran jauh lebih kecil daripada alpukat Indonesia.
Alpukat seukuran genggaman tangan saja di Beijing dijual seharga 9 yuan atau sekitar Rp18.000. Di pasar tradisional di Pasuruan, Jawa Timur, 1 kilogram alpukat mentega pada November 2019 yang terdiri dari tiga buah berukuran besar hanya Rp20.000.
Wajar jika wajah Enggartiasto berkerut saat mengunjungi Pasar Fengtai, pusat grosir buah dan sayur terbesar di Beijing, beberapa waktu lalu setelah tak satu pun mendapati produk dari Indonesia.
Menang Kuantitas
Jika masalah gap dagang ini tidak segera teratasi, maka akan sulit bagi Indonesia dalam meningkatkan hubungan bilateral dengan China yang pada 2020 sudah memasuki tahun ke-70.
"Kenapa Vietnam, Thailand, dan Malaysia lebih banyak mendapatkan keuntungan, sedangkan kami tidak?" ujar Arief melanjutkan pertanyaannya saat berbicara di depan para akademisi dan media China di Beijing pada 22 November 2019.
Tidak mudah memang menjawab pertanyaan itu. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama dalam mengukur kekuatan yang dimiliki oleh negara tetangga.
China negara besar, pasarnya besar pula dengan jumlah penduduk yang mencapai 1,4 miliar jiwa. Potensi pasar di negara yang luas daratannya sembilan kali lipat dari luas daratan Indonesia itu tidak bisa digarap sambilan.
Di daratan seluas itu, Indonesia hanya memiliki tiga kantor perwakilan, yakni di Beijing, Shanghai, dan Guangzhou ditambah satu kantor promosi dagang (ITPC) di Shanghai, itu pun baru dibuka beberapa waktu lalu.
Bandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 10 kantor perwakilan ditambah delapan kantor promosi di kota-kota besar di China. Malaysia punya lima kantor promosi, Filipina (3), dan Vietnam (2).
Mau bersaing bagaimana kalau kantor promosi yang berfungsi sebagai etalase utama itu, Indonesia punya cuma satu. Maka tidak heran jika Indonesia bertengger di peringkat ke-15 sebagai negara eksportir ke China.
Selama periode Januari-Oktober 2019 nilai ekspor Indonesia tercatat hanya 28,2 miliar dolar AS. Dalam periode tersebut Malaysia mencatat nilai 58,5 miliar dolar AS dan Vietnam sebesar 50,6 miliar dolar AS.
Namun yang sangat mengejutkan adalah dari segi kuantitas. Volume ekspor Indonesia ke China pada periode tersebut telah mencapai angka 182,3 miliar kilogram. Besaran volume itu terutama disumbang oleh bahan mentah, salah satunya batu bara.
Dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang hanya 152 miliar kilogram, volume ekspor Indonesia meningkat sebesar 19,91 persen.
Bandingkan dengan Malaysia yang volume ekspornya ke China pada Januari-Oktober 2019 sebagaimana data Bea dan Cukai China hanya 41,2 miliar kilogram dan Vietnam 35,8 miliar kilogram.
Berdasarkan data Bea Cukai itu pula, dapat dilihat bahwa di antara negara pesaing lainnya seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina dan Thailand posisi peningkatan ekspor dari sisi kuantitas, Indonesia saat ini menempati peringkat pertama.
Untuk daftar eksportir terbesar ke China dari sisi kuantitas itu, Indonesia juga menempati peringkat ketiga di bawah Australia dan Brazil.
"Artinya, kita sebenarnya tidak kalah dengan tetangga. Namun jika ekspor kita hanya itu-itu saja dan tidak ada nilai tambahnya, maka sulit bagi kita untuk menghilangkan gap tersebut," kata Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Beijing Marina Novira.