Denpasar (ANTARA) - Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha, SSKar, MHum, berpendapat perlu dilakukan sosialisasi lebih intensif kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait mengenai tari sakral, setelah ditandatanganinya Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali.
"Jadi, masyarakat tidak hanya dilarang-larang saja, harus paham juga. Kita punya kewajiban untuk sosialisasi, batas sakral sejauh mana, konteksnya seperti apa, dan kenapa sampai dikeluarkan Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali ini," kata Prof Arya, di Denpasar, Selasa.
Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali ini ditandatangani oleh Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, Bendesa Agung Majelis Desa Adat Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Bali Prof Dr I Made Bandem, Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan Adnyana, dan Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha.
Dalam keputusan Bersama itu Gubernur Bali Wayan Koster ikut menandatangani sebagai unsur yang mengetahui.
Civitas akademika ISI Denpasar, lanjut dia, berkomitmen turut membantu Pemerintah Provinsi Bali dalam menyosialisasikan pelindungan tari sakral kepada masyarakat Pulau Dewata bersama-sama jajaran desa adat.
Menurut guru besar seni karawitan itu, tari sakral merupakan sumber nilai karena dari tari sakral kita tahu "anggah-ungguh", ada larangan dan ada yang bisa dilakukan.
"Dari tari sakral kita bisa melihat mana yang lebih tinggi dan lebih rendah dalam kapasitas menjadi manusia. Tetapi sekarang itu manusia sudah luar biasa ingin egaliter, tetapi egaliter yang kebablasan. Kita ingin menghidupkan seni sakral sebagai sumber nilai, ada stratifikasi antara manusia dengan Tuhan," ujarnya.
Di masyarakat, sumber-sumber nilai sudah mulai hilang, masyarakat tidak lagi melihat kesenian tari sakral dan ada nilainya.
ISI Denpasar bekerja sama dengan Listibya juga sudah melakukan pendataan seni pertunjukan maupun seni rupa, dengan tujuan untuk membuat blue print tentang keberadaan seni dan menata seni ke depan.
"Kami sudah mengkaji sedetail mungkin mana seni sakral dan tidak. Sudah sangat berkembang, tidak hanya konteks tempat, tetapi juga waktu dan untuk apa dipergelarkan. Ada perkembangan yang sangat berarti kami temukan," ucapnya.
Contohnya Tari Joged ketika ditampilkan untuk membayar "sesangi" atau kaul orang yang pernah sakit, kemudian juga menjadi sakral. Ada juga desa di lereng Gunung Batukaru, pertunjukan tari Joged yang sakral.
"Dalam pemetaan itu, kami kaji satu-satu, tari apa yang masih ada, yang masih hidup, sifatnya bagaimana. Inventarisasinya sudah klop dan kami juga bekerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota. Di situlah kabupaten/kota dapat membuat perencanaan, apa yang harus dilakukan oleh mereka," ujarnya.
Di sisi lain, Prof Arya juga tidak setuju jika tari sakral digunakan dalam pemecahan rekor MURI yang belakangan sering dilakukan sejumlah kalangan. Menurut dia, lebih baik kalau untuk pemecahan rekor dengan menciptakan tari kreasi baru.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan "Kun" Adnyana mengatakan dalam Keputusan Bersama itu berisi sejumlah poin diantaranya melarang semua pihak mempertunjukkan/ mempertontonkan/mempergelarkan/ mementaskan segala jenis dan bentuk tari sakral Bali di luar tujuan sakral (upacara dan upakara Agama Hindu).
Kemudian prajuru desa adat, lembaga pemerintah/non-pemerintah, sekaa/sanggar/komunitas dan masyarakat Bali diharuskan melakukan langkah-langkah pencegahan, pengawasan, dan pembinaan dalam rangka penguatan dan pelindungan tari sakral Bali. Bilamana terjadi pelanggaran terhadap diktum dalam keputusan bersama tersebut akan diambil tindakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Rektor ISI: pelindungan tari sakral perlu disosialisasikan
Selasa, 17 September 2019 22:05 WIB