Denpasar (Antaranews Bali) - Sejatinya, pendapat itu tidak pernah tunggal, selalu ada dua versi atau bahkan lebih, karena itu perbedaan pendapat (banyak versi) dalam setiap masalah adalah keniscayaan dan karenanya klaim atas kebenaran itu tidak alami (standar ganda/politis).
Hal yang sama juga berlaku dalam menyikapi apa yang dialami etnis Uygur di Xinjiang, China, karena apa yang dipersoalkan akhir-akhir ini sesungguhnya sudah terjadi sejak tahun 1930 dengan versi realitas-nya tersendiri. Bukan realitas kemarin sore.
Sebagai orang yang pernah melakukan "media visit" ke Tiongkok pada 2-11 Mei 2018, pendapat tokoh Dinasti Han Barat, yakni Zhao Chong, agaknya tepat. "Bai wen bu ru yi jian" (sekali melihat sendiri itu lebih baik daripada seratus kali mendengar dari orang lain) (kitab Han, susunan 32-92).
Pendapat Zhao Chong itu mengajarkan pentingnya melihat permasalahan yang sebenarnya terjadi dengan tahu langsung dari versi realitas daripada mendengar dari orang lain dengan versi "laporan" dari pihak yang tidak datang langsung ke lokasi kejadian (laporan dari laporan).
Versi "laporan" tentang Muslim Uygur yang cukup viral akhir-akhir ini seolah menjadi kebenaran tunggal yakni etnis Uygur di Xinjiang, China, mengalami pengasingan, sehingga komunitas internasional, baik pers, tokoh politik, serta lembaga kemanusiaan pun mengecam keras.
Bahkan, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan telah menerima laporan bahwa terdapat satu juta etnis Uygur ditahan di suatu kamp pengasingan yang terselubung. Mereka dipaksa mengikuti program "Kamp Indoktrinasi Politik" yang di dalamnya diduga terdapat upaya pelunturan keyakinan yang dianut warga Uygur.
Laporan Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial yang berasal dari laporan pihak lain mencatat tindakan keji yang dilakukan Pemerintah China. Pemerintah China telah menahan sekitar satu juta jiwa orang yang diduga berasal dari etnis Uygur di salah satu tempat kamp interniran (kamp pengasingan) berukuran besar, berjarak cukup jauh dari Pusat Kota Xinjiang.
Tidak hanya dari PBB, LSM HAM Amnesty Internasional dan Human Right Watch juga mengungkapkan laporan bahwa sejumlah etnis Uygur di Xinjiang dipaksa untuk bersumpah setia kepada Presiden China Xi Jinping.
Mereka ditahan dalam lokasi penahanan besar tanpa alasan dan batas waktu yang diduga berada di area terpencil, yakni Dabancheng. Sebuah lembaga ruang angkasa multinasional bernama GMV menyatakan sedikitnya ada 101 fasilitas keamanan tingkat tinggi yang punya menara pemantau untuk mengontrol pergerakan siapapun di dalamnya. Ini serupa dengan sebuah penjara raksasa.
Direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan etnis Uygur mendapat perlakuan diskriminatif di Xinjiang, China, di antaranya dilarangnya mengenakan hijab bagi perempuan di tempat-tempat publik, menumbuhkan jambang dan jenggot bagi anak-anak muda, berpuasa atau memiliki buku dan artikel dengan tema Islam,.
"Amnesti Internasional mewawancarai 100 warga etnis Uygur untuk mengetahui situasi yang mereka hadapi. Hasilnya, ditemukan bahwa ada satu juta dari 11,3 juta etnis Uygur dimasukkan ke dalam Kamp Indoktrinasi Politik. Mereka dituduh sebagai ekstremis, tapi tidak ada bukti-bukti yang ditemukan. Kami menuntut Pemerintah China memberikan penjelasan," kata Usman Hamid.
Realitas China
Versi tunggal yang mengklaim kebenaran atas Uygur itu agaknya patut disandingkan dengan realitas di China. "Bai wen bu ru yi jian (sekali melihat sendiri itu lebih baik daripada seratus kali mendengar dari orang lain)," kata Zhao Chong (kitab Han, susunan 32-92).
Dari pengalaman "melihat" RRT dalam "media visit" pada 2-11 Mei 2018 itu, agaknya ada tiga kata kunci dalam "melihat" Uygur (bukan hanya mendengar) yakni komunisme China, kebebasan beragama dalam Konstitusi RRT(UUD) dan peta lokasi Uygur.
Khusus komunis, agaknya ada perbedaan pandangan, karena sebagian masyarakat Indonesia "melihat" komunis sebagai ideologi (pengalaman PKI 1965), sedangkan komunis bagi masyarakat China hanya paham politik yang mendorong kesejahteraan masyarakat (ekonomi kerakyatan).
Bukti bahwa komunis di China bukan ideologi adalah Konstitusi RRT yang menjamin kebebasan beragama bagi masyarakat, baik beragama atau tidak beragama. Realitasnya, Islam dan agama lain juga berkembang pesat di China. Saat ini diperkirakan ada 38.000-an masjid, namun gereja juga ada.
Terkait peta lokasi Uygur yang perlu diketahui adalah kedekatan jaraknya dengan Afghanistan dan Pakistan yang selama ini juga santer diberitakan bahwa ada warga Indonesia berlatih perang atau "berjihad" di Afghanistan. Apalagi, warga Uygur yang sangat dekat jarak tempuhnya, karena itu sangat mungkin kelompok radikal ada dalam etnis Uygur, bahkan disebut sudah ada sejak 1930.
Hal itu dibenarkan pengurus NU NTB yang sedang bersilaturahmi dengan sejumlah Muslim Uygur saat isu Uygur menjadi viral. "Saya sarapan pagi dengan Muslim Uygur di hotel. Saya diceritakan kalau mereka aman-aman saja. Yang diperangi itu kelompok teroris, yang melawan pemerintahan yang sah. Isu itu dibawa oleh kelompok mereka yang sudah dibubarkan di Indonesia," kata salah seorang pengurus NU NTB, Bahman Saputra.
Hal itu dibenarkan Konsul Jenderal RRT di Denpasar, Gou Haodong. Ia membantah pemberitaan media tentang kamp pengasingan Muslim Uygur, Xinjiang, China, karena Konstitusi RRT menjamin kebebasan beragama, sehingga pemerintahannya tidak mungkin melanggar UUD itu.
"Jadi, pengasingan dua juta orang itu tidak mungkin. Itu fitnah, tujuannya ingin merusak hubungan baik antara RRT dan RI yang selama ini sudah menjalin kemitraan strategis setelah pemulihan hubungan diplomatik," katanya dalam pertemuan dengan pers di kantornya, Denpasar (27/12/2018).
Menurut dia, ada pihak-pihak yang tidak mau perkembangan baik dalam hubungan kedua negara itu, karena itu pihak lain itu memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat Indonesia tentang Tiongkok dengan melakukan fitnah.
"Masyarakat Indonesia ditipu dengan pemberitaan penganiayaan yang merupakan berita palsu, padahal dua juta Muslim Uighur dimasukkan kamp pengasingan itu tidak masuk akal. Berita palsu sebelumya juga menyebut RRT melarang kebebasan beragama atau RRT merusak masjid. Tidak mungkin ada negara yang bisa berkembang bila melakukan penganiayaan umat beragama," katanya.
Untuk itu, ia mempersilakan masyarakat Indonesia untuk mengakses laman/website Kedubes RRT di Indonesia tentang fakta-fakta yang sebenarnya di Xinjiang, termasuk fakta pelatihan vokasi dan juga kebijakan pemerintah RRT dalam melawan terorisme. "Jangan percaya informasi pakai standar ganda, karena kritik dan fitnah itu sangat jelas bedanya. Terorisme itu musuh dunia," katanya.