Monumen Perjuangan Bangsal (MPB) di Pertigaan Gaji, Dalung, Kabupaten Badung, Bali, dalam perang kemerdekaan Indonesia mempunyai peran yang sangat stregis dalam mengatur perang mengusir kaum penjajah.
Setiap membicarakan masalah heroisme, emosi kebangsaan menjadi bangkit kembali. Rasanya, hal ini sah-sah saja meskipun tidak mengalami peristiwa yang mengagungkan itu secara faktual.
Namun, dari buku-buku dapat mendalami, betapa bangga dan negara ini dibangun dengan perang dan revolusi yang panjang.
Betapa penderitaan para pejuang bangsa ini untuk kemerdekaan dengan mempertaruhkan segala-galanya, mulai dari keringat, air mata, harta benda, darah, hingga korban jiwa, kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DHD) Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) Angkatan 45 Provinsi Bali Prof. Dr. Wayan Windia.
Di Bali, kini para pejuang kemerdekaan sudah sangat berkurang, tinggal sekitar 4.000 orang dari 24.000 pejuang kemedekaan pada tahun 1945 s.d. 1949.
Mereka yang kini masih hidup adalah para pejuang yang dahulu pada perang kemerdekaan masih sangat muda-muda. Tugasnya adalah sebagai penghubung, juru masak, dan kegiatan lainnya.
Mereka yang bertugas sebagai pasukan tempur atau pembina teritorial, nyaris sudah tidak ada.
"Lalu, kepada siapa kita harus bertanya dan mengadu tentang referensi, hakikat, dan nilai-nilai perjuangan kemedekaan di Bali?" kata Prof. Windia dengan nada tanya.
Dalam konteks itulah peranan Monumen Perjuangan Bangsal (MPB) atau sering disebut Bangsal, memegang peranan yang sangat penting.
Nilai pentingnya analogis dengan makna Monumen Pendaratan Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai di Pantai Yeh Kuning (Jemberana), Monumen Perjuangan Munduk Malang (Tabanan), dan Monumen TPB Margarana (Tabanan).
Hubungan Historis
Menurut Prof. Windia, Wakil Pimpinan Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil, almarhum Made Widja Kusuma (Pak Djoko) selalu menyatakan bahwa keempat tempat bersejarah (monumen) itu memiliki hubungan historis yang sangat erat.
Monumen Perjuangan Bangsal dianggap sebagai embrio perjuangan kemerdekaan Indonesia di Bali. Di sana selalu diadakan rapat-rapat gelap oleh pejuang bawah tanah untuk membahas perang kemerdekaan di Bali.
Pertemuan yang sangat historis adalah pertemuan para pejuang di Bangsal, 16 Agustus 1945. Itu semua adalah kenangan (abadi) dari MPB dalam perannya sebagai kreator perjuangan dalam perang kemerdekaan Indonesia di Bali.
Pada era perang kemerdekaan, tidak banyak yang terpanggil untuk ikut terlibat secara sadar dalam kancah perang kemerdekaan itu karena risikonya yang sangat berat. Nyawa taruhannya.
Sedikit saja pihak penjajah mengetahui keterlibatan seseorang dalam membantu perang kemerdekaan maka hukumannya sangat berat. Disiksa setengah mati, bahkan dibunuh.
Rumah bisa dibakar habis. Keluarga besar bisa diteror terus-menerus. Tampaknya hanya orang-orang pilihan yang moralis dan idealis yang bisa terpanggil untuk bergabung di pihak republik.
Apakah nilai-nilai yang terkandung dalam keberpihakan seseorang kepada republik. Padahal, taruhannya adalah jiwa raga.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah nilai-nilai ikhlas berkorban, setia kawan, dan kebersamaan dalam suka duka.
Nilai-nilai itulah yang selalu membakar jiwa kebangsaan para pejuang kemerdekaan. Keluarga Bangsal dalam era perang kemerdekaan bukanlah keluarga yang miskin.
Pada saat orang lain masih susah mencari sesuap nasi, ternyata keluarga Bangsal sudah memiliki loteng (rumah bertingkat). Akan tetapi, kenapa leluhur keluarga Bangsal lebih memilih untuk memihak republik?
Mereka harus siap berkorban jiwa raga dan harta benda? Padahal, banyak orang kaya pada era itu lebih memilih memihak Belanda. Hanya demi untuk keamanan kekayaannya dan jiwanya.
Itulah sebuah kenangan abadi dalam sebuah pilihan hidup. Hal ini harus dikenang oleh Generasi Baru Indonesia (GBI) yang akan memimpin Indonesia ke depan.
GBI yang tidak pernah bersentuhan dengan aura republik. Mereka terlahir pada era digitalisasi, globalisasi, dan kompetisi.
Oleh karena itu, GBI harus mengambil referensi mental dari berbagai monumen perjuangan kemerdekaan, di antaranya adalah Monumen Perjuangan Bangsal (MPB).
"Kami berharap agar MPB tetap dapat dipelihara napas kejuangannya oleh keturunan keluarga Bangsal karena peranannya yang makin penting pasca-100 tahun Indonesia Merdeka (pasca-2045) dan pascaera kepemerintahan GBI," kata Prof. Windia.
Pada saat mereka (GBI) kebingungan mencari arah hidup berbangsa, mereka harus berpaling pada MPB dan berbagai monumen perjuangan lainnya di Bali dan di Indonesia.
Harapan
Pada saatnya nanti, menurut Prof. Windia, Indonesia akan dipimpin oleh sebuah generasi yang bisa disebut sebagai Generasi Baru Indonesia (GBI).
Sebuah generasi digital yang hidup pada era globalisasi. Hidupnya penuh dengan kompetisi, khususnya untuk mempertahankan eksistensi hidupnya. Sementara itu, mereka nyaris lupa dan tidak mengenal sejarah perjuangan bangsanya.
Sejarah bangsa adalah sebuah referensi abadi bagi setiap pemimpin bangsa pada masa depan. Itulah sebabnya berharap agar "api" MPB terus dihidupkan, terus dijaga nyala apinya, terus diwariskan dari generasi ke generasi agar tetap abadi sepanjang masa.
Biar sekecil apa pun nyala sebuah lilin, akan tetap mampu menerangi kegelapan malam. Pada saatnya nanti ketika kita mungkin kehilangan masa depan bangsa karena gelapnya deru dan debu kepentingan kelompok dan golongan, MPB harus tetap menjadi pelita bangsa. Sebuah tempat GBI mencari dan menemukan kembali identitasnya sebagai bangsa yang dahulu dipertaruhkan dengan tetesan darah, kata Prof. Windia. (WDY)