Semua lapisan masyarakat Bali maupun secara nasional dan global dapat memahami dengan mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik.
Turah Pemayun mengatakan, hal itu optimis akan terwujud dengan adanya semakin pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
IPTEK dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan untuk mewarikan nilai-nilai luhur orang Bali yang terkenal akan keunikan budaya dan seni hingga ke mancanegara.
"Keunggulan IPTEK harus mampu dirancang mendukung pembangunan dan dapat menyesuaikan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat Bali," ujar Turah Pemayun.
Ia mengatakan, Bali yang terdiri atas delapan kabupaten yakni Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan dan satu kota Denpasar.
Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali dan kota madya dapat menjadi pusat pembangunan Bali secara fisik maupun non fisik.
Turah Pemayun mengharapkan, kawasan Denpasar hendaknya mampu mencerminkan budaya Bali agar sesuai dengan visi yang akan diwujudkan yakni Denpasar menjadi kota berwawasan budaya.
Salah satunya penataan tata letak patung agar dirancang sedemikian rupa baik penempatan, pemilihan tokoh maupun subyek lainnya sehingga nilai-nilai yang terkandung agar bersesuaian dengan "desa kala patra" atau tempat, waktu dan keadaan.
Ia mencontohkan, pendirian ikon baru kota Denpasar patung Titi Banda di bangun sangat strategis.
Terletak di tengah-tengah pertigaan jalan By Pass Prof. Dr. Ida Bagus Mantra-By Pass I Gusti Ngurah Rai yang menghubungkan antara Gianyar dari arus utara, Karangasem dan Klungkung dari timur, dan Nusa Dua dari selatan.
Patung tersebut, tidak saja berdiri tegak namun perlu ditambahkan penataan lainnya dengan adanya teknologi hari ini, misalnya dengan penambahan suara dari patung dengan adanya penejelasan maksud pendirian patung atau pesan moral dari tokoh patung tersebut.
Selain itu, penataan bentuk patung yang digunakan juga jelas mencerminkan seni patung dari Bali sebagai identitas kreatifitas daerah.
Termasuk bentuk patung dan ornamen pendukungnya yang dibuat agar bersesuaian dengan cerita aslinya.
Sebaiknya bentuk patung tersebut menggunakan atau mengenakan busana pengembara bukan busana dalam kerajaan.
Oleh karena kejadian pembangunan Titi Banda sesuai dengan itihasa Ramayana terjadi ketika tokoh Sri Rama yang membangun jembatan Titi Banda di tengah laut bersama pasukan wanara (kera) yang akan menjemput istrinya yakni Dewi Sinta.
Ketika menjadi tawanan dari raja Rahwana di negeri Alengka, Untuk itu dibangunlah jembatan Titi Banda dengan mengerahkan pasukan kera yang dipimpin oleh Sri Rama dengan semangat membela kebenaran dan kegotong-royongan.
Cerita tersebut, memiliki makna yang agung dan luhur yang tidak lekang dengan zaman dapat dikemas.
Hal itu sebagai upaya agar pesan tersebut mampu diterima oleh masyarakat sekarang dan di masa mendatang seperti karya-karya besar Borobudur dan Prambanan yang masih populer hingga kini .
"Kemasannya agar sesuai dengan Bali kini tanpa meninggalkan budaya-budaya Bali luhur yang patut dilestarikan," kata Turah Pemayun.
Ia juga menambahkan, adanya penataan tersebut dapat memberikan nilai tambah sebagai media pembelajaran, penataan kota yang indah penuh dengan seni kreatifitas.
Serta upaya untuk mempertahankan pariwisata budaya Bali kepada para wisatawan baik dari domestik maupun mancanegara.
Memilih Kemasan Relevan Bali Kini
Turah Pemayun mengatakan, warisan leluhur orang Bali yang begitu agung dapat diterima oleh semua pihak dalam menghadapi perubahan dunia yang begitu cepat dalam menghadapi era globalisasi."Perubahan selalu terjadi dalam setiap saat dan tidak seorang pun mampu melawan sebuah perubahan," kata Turah Pemayun.
Untuk itu, perlu adanya duduk bersama dari tokoh-tokoh maupun para ahli semua bidang baik pemerintah maupun swasta.
Membentuk kemasan yang relevan dengan perkembangan hari dunia hari ini sehingga mudah dimengerti oleh anak-anak, orang muda maupun orang tua.
Kemasan tersebut agar disesuaikan dengan tingkat daya serap masing-masing tempat baik di perkotaan maupun perdesaan.
Inovasi dan kreatifitas tersebut dibutuhkan saat ini, sebagai upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) daerah Bali dalam menghadapi tantangan global yang semakin ketat.
"Penanaman warisan leluhur dapat diterapkan pada masing-masing tingkatan perlu dibangkitkan lagi," ujar Turah Pemayun.
Ia juga mengatakan, salah satu konsep Bali yang akan diterapkan misalnya "Tri Hita Karana" telah disiapkan berbagai metode pada masing-masing tingkatan baik "nista, madya dan utama."
Penerapan "Tri Hita Karana" kalangan anak-anak dapat diajarkan dengan cara bermain, lewat cerita maupun memberi contoh secara secara bertahap disesuaikan dengan kemampuannya.
Menurut pengalamannya, orang tua dahulu selalu memberikan cerita-cerita moral maupun kesenian pewayangan yang memberikan pemahaman tentang pertentangan antara hal baik dengan buruk. Akhir cerita tentu tokoh yang memegang prinsip 'dharma' atau kebenaran yang akan selalu memang.
Langkah tersebut, diharapkan dapat diterapkan penanaman nilai-nilai luhur dapat diterima dengan baik dan senang.
"Perbedaan metode dalam setiap tahapan usia itu penting agar lebih mudah terima dan relevan dengan kebutuhannya," kata Turah Pemayun.
Ia mengharapkan, orang Bali dapat meniru negara-negara maju seperti Jepang, Korea dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang mampu mempertahankan budayanya di tengah arus globalisasi dan persaingan yang kompetitif.
Jepang mampu menjadi negara maju namun tetap mempertahankan budaya tradisionalnya sebagai kekayaan yang dimiliki negara.
Bahkan membanggakan dan menjungjung tinggi budaya leluhur, selalu menjaga tata krama maupun sopan santun.
Meskipun Jepang pernah mengalami terpuruk akibat kekalahan perang dunia II begitu pula Korea minim akan sumber daya alam tetap menjadi negara maju, oleh karena mampu mempertahankan budayanya.
"Saya berharap khususnya generasi muda Bali menjadikan budaya sebagai modal kekuatan dalam meningkatkan taraf hidup yang semakin maju," harap Turah Pemayun.
Bahkan secara tegas meninggalkan budaya leluhur Bali yang tidak relevan bagi kemajuan masyarakat maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju generasi emas Indonesia 2045. (*)