Denpasar (Antara Bali) - PMKRI Cabang Denpasar menilai, kasus kekerasan bagi warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banteng, dan kerusuhan di Temanggung, Jateng merupakan cermin dari kerapuhan karakter kehidupan berbangsa dan bernegra.
"Peristiwa anarkis tersebut mencerminkan kerapuhan anak bangsa yang kehilangan identitas dan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Denpasar Ambrosius Ardin, Jumat.
Menurut dia, sebagai bangsa pluralis seharusnya segala perbedaan menjadi kekayaan dan kebanggaan bangsa dan bukan sebaliknya, justru menjadi permusuhan bagi sesama anak bangsa.
PMKRI memandang, aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik dan pembakaran rumah ibadah di Temanggung, menjadi ancaman nyata bagi kerukunan hidup umat beragama.
Karena itu ia berharap agar masyarakat Bali tidak terprovokasi kasus tersebut. Masyarakat di Pulau Dewata diimbau tidak terpacing dengan peristiwa memilukan tersebut.
Ia mengakui bahwa peristiwa berdarah dan kekerasan itu telah mengusik suasana Februari yang dimaknai oleh banyak orang sebagai bulan penuh cinta.
PMKRI Cabang Denpasar, katanya, mengutuk dan mengecam tindakan kekerasan yang mengatasnamakan apapun.
Didampingi Sekjen PMKRI Denpasar Sherly Herlyani Maria Sene ia mengatakan bahwa Pancasila sebagai pedoman hidup dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai spirit pluralisme hanya bersemi pada tataran wacana dan jargo-jargon politik, namun menguap tanpa jejak pada ranah praksis.
Selain itu, pihaknya memandang pluralitas masyarakat manusia termasuk pluralitas agama adalah kehendak dan Keputusan Ilahi. "Gerakan Pluralisme agama di Indonesia sebuah kehendak sejarah bagi kita untuk merawat dan mengembangkannya," ucapnya.
PMKRI Cabang Denpasar menaruh rasa hormat terhadap semua agama dan kepercayaan di Indonesia, dan berkeyakinan bahwa secara teologis semua agama tidak mengajarkan kekerasan.
Tindakan anarkis bermotif agama pada dasarnya adalah kegagalan individu dan kelompok tertentu dalam menafsir dan menerjemahkan ajaran agamanya.
Menurut mereka, kekerasan bernuansa agama yang untuk kesekian kali terjadi menunjukan kegagalan negara dalam menjamin hak-hak fundamental warga negaranya, seperti yang dijamin oleh konstitusi RI.
Kasus kekerasan dan kerusuhan massa itu, menurutnya, menujukan sikap ambiguitas kepolisian dalam penanganan aksi massa.
Karena itu, mereka juga menuntut ketegasan pemerintah membubarkan semua organisasi yang terlibat peristiwa kekerasan serta kepolisian diminta segera mengusut dan menindak tegas pelaku kekerasan
Pihaknya juga meminta pemerintah agar segera mencabut SKB Tiga Menteri yang salah satunya mengatur tentang Ahmadyah karena tidak memperlihatkan ketegasan pemerintah untuk memberikan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negaranya, dalam memeluk agama dan keyakinannya.
Pihaknya juga mengajak seluruh elemen masyarakat menghindari solidaritas sempit bagi korban kekerasan untuk menghindari meluasnya tindakan kekerasan, serta tetap memberikan rasa aman bagi masyarakat.
PMKRI juga meminta jajaran Polda Bali agar meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi-aksi kekerasan massa yang sistematis dalam upaya-upaya pencegahan untuk menghindari kejeadian serupa di Bali. (*)