Jakarta (Antara Bali) - Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih digodok oleh tim "drafter" di bawah koordinasi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana seusai rapat koordinasi di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu, mengatakan beberapa poin rancangan revisi undang-undang masih jadi perdebatan yang sengit.
"Kita lihat perkembangannya, karena perdebatannya sangat sengit tadi, menyangkut hal-hal yang sangat substantif," ujar dia.
Widodo menyebutkan sejumlah hal yang menjadi perdebatan ialah mengenai hukuman pencabutan paspor atau langsung pencabutan kewarganegaraan bagi WNI yang mengikuti pelatihan perang secara ilegal di luar negeri.
Widodo juga sempat menyebutkan pembahasan rancangan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berada di level Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Ini tingkatnya masih level Perppu, jadi masih kita... kok level Perppu, level undang-undang," kata Widodo mengoreksi perkataannya.
Ia menjelaskan akan ada peraturan lain yang sifatnya lebih teknis dan terperinci akan diatur dalam Peraturan Pelaksanaan.
Widodo menyebutkan ada beberapa pasal baru yang ditambahkan dalam revisi undang-undang antara lain informasi elektronik terkait adanya dugaan tindakan terorisme dapat digunakan sebagai bukti untuk melakukan penangkapan.
Selain itu Widodo juga menyebut tentang perdagangan senjata yang memiliki tujuan tindakan terorisme juga dapat dijerat undang-undang.
Widodo juga mengungkapkan adanya penambahan pasal tentang kewenangan ekstra teritorial aparat penegak hukum untuk menangkap terduga pelaku teror.
"Ekstra teritorial, jadi (terduga teroris) warga negara (asing) yang ada di sini bisa kita tangkap," ujar Widodo.
Ia juga menyebutkan adanya penambahan masa penahan bagi teduga pelaku teror sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Widodo menyebut masa penahanan menjadi 120 hari yang dibagi menjadi dua termin. (WDY)