Belasan pancuran yang berderet di kolam kawasan suci Pura Tirta Empul, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, airnya mengalir jernih ke hamparan sawah di area Subak Pulagan di bagian hulu Tukad Pekerisan yang kondisinya menghijau dan lestari.
Hamparan sawah di dua subak daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan itu merupakan satu-kesatuan dengan kawasan subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, kawasan suci Pura Taman Ayun, Mengwi, Kabupaten Badung dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBU).
Wisatawan dalam dan luar negeri yang mengunjungi Subak Pulagan selanjutnya bisa mengunjungi objek wisata Tirta Empul yang mengoleksi sekitar 30 pancuran dan airnya mengalir jernih.
Di objek wisata Tirta Empul itu pula wisatawan mancanegara biasanya berbaur dengan masyarakat Bali ikut ambil bagian dalam prosesi ritual penyucian diri (melukat), terutama pada "hari-hari baik" pada bulan purana (purnama) maupun saat bulan mati (tilem).
Selain itu juga dapat mengunjungi objek wisata sekitarnya antara lain cagar budaya Pura Pegulingan dan Pura Mengening, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia.
Dengan demikian wisatawan dapat memperoleh fungsi ganda dalam kunjungannya sekaligus dibanding dengan mengunjungi Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan yang kondisinya semakin amburadul dalam pola pengembangan sosial kelembagaan.
Subak Jatiluwih dalam wujud fisik (kebendaan) kondisinya tidak sesuai dengan harapan akibat Pemkab Tabanan sekadar membentuk Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (BP-DTW) Jatiluwih yang lebih mengutamakan pendapatan asli daerah (PAD).
Prof Windia yang sebelumnya sebagai sekretaris tim pengusulan proposal WBD ke UNESCO menilai, Pemkab Tabanan dalam membentuk BP-DTW sekadar mencomot segi keuntungan daerah itu sebagai kawasan WBD.
Sepertinya tidak mau tahu tentang pelestarian kawasan Jatiluwih sebagai kawasan WBD. Kawasan Jatiluwih sebagai kawasan WBD memerlukan pelestarian dan keberlanjutan, serta harus ditata sesuai dengan kriteria UNESCO tentang WBD.
Seharusnya disyukuri bahwa pengakuan UNESCO terhadap kawasan subak sudah memberikan citra positif bagi kawasan itu, sehingga wisatawan yang berkunjung menjadi berlipat ganda. Citra bangsa juga terangkat. Dengan demikian pendapatan yang masuk ke kas Pemda Tabanan juga semakin berlipat.
Kondisi demikian berbeda Subak Pulagan di Kabupaten Gianyar yang merupakan sebuah organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang sangat bersejarah. Subak itu dibangun pada zaman keemasan Dinasti Warmadewa tatkala memerintah di Bali, yakni pada zaman pemerintahan Prabu Udayana Warmadewa, abad ke-10 dan ke-11.
Subak Pulagan langsung mendapatkan air irigasi dari mata air yang ada di kawasan Pura Tirta Empul, salah satu objek wisata yang lokasinya bersebelahan dengan Istana Presiden Tampaksiring.
Oleh sebab itu, kawasan Subak Pulagan dianggap sebagai subak yang keramat, karena jika ada ritual berskala besar di kawasan Tampaksiring dan sekitarnya, harus membuat bahan sesajen tertentu yang berasal dari beras hasil tanaman padi di Subak Pulagan.
Demikian pula keperluan rutial lainnya seperti belut, kelipes, belauk, capung dan belalang untuk keperluan sesajen juga harus memanfaatkan yang berasal dari kawasan Subak Pulagan.
Panorama Indah
Asisten II Setda Provinsi Bali, Ketut Wija yang pernah mengunjungi kawasan Subak Pulagan juga berkomentar bahwa kawasan subak itu sangat baik. Pemandangannya yang indah, lahan sawah terbentang luas, dan sangat cocok untuk dikunjungi oleh wisatawan yang ingin tahu tentang subak WBD.
Sementara Bupati Gianyar, Anak Agung Gde Agung Bharata juga menaruh perhatian besar terhadap eksistensi subak sebagai warisan budaya dunia. Bangunan yang terlanjur ada di kawasan itu dibongkor dan dibersihkan dengan memberikan ganti rugi.
Pemerintah setempat bertekad menjaga kelestarian subak yang dibangun pada zaman Raja Udayana yang telah diakuai sebagai warisan budaya dunia, dengan harapan mampu mendukung sektor pariwisata.
Sebanyak 30 orang komponen pariwisata di kawasan negara ASEAN awal Desember lalu sempat mengunjungi Subak Pulagan dan melihat dari dekat aktivitas petani setempat.
Komponen pariwisata dari negara-negara di Asia Tenggara untuk mengetahui dan mendalami WBD yang ada di Pulau Dewata. Prof Windia memandu mereka itu selama empat hari kunjungannya di Bali.
Windia secara tegas mengatakan, sengaja mengarahkan kunjungan tamu-tamu penting dari negara ASEAN itu ke Subak Pulagan tidak mau pengajaknya ke Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan.
Pengalihan objek kunjungan itu dengan alasan bahwa kawasan Jatiluwih sebagai WBD sudah banyak dirusak oleh investor dan masyarakat setempat. Di antaranya banyak sawah di sana yang telah dibuldozer, atau kawasan sawah yang digunakan untuk tempat makan dengan harga yang sangat mahal.
"Harga untuk sekali makan di tempat itu bisa mencapai Rp8 juta per orang, sementara itu petani hanya menjadi penonton belaka padahal menjual aktivitas petani dan pemandangan alam sawah yang berundag-undag," ujarnya.
Ia mengimbau agar wisatawan tidak lagi perlu datang ke Subak Jatiluwih untuk melihat sawah yang menjadi WBD. Karena kawasan Subak Pulagan di Tampaksiring yang menjadi satu kesatuan WBD itu masih sangat baik untuk dikunjungi.
Sementara proses pelanggaran di kawasan WBD Jatiluwih Kabupaten Tabanan sudah sangat sistimatis dan masif. Dalam rencana aksi yang dikirimkan ke UNESCO, telah dijanjikan bahwa subak dan petani harus sejahtera dan menikmati manfaat. Namun tampaknya subak di Jatiluwih hanya menjadi obyek semata dan hanya menikmati manfaat yang minimal.
Subak Jatiluwih tidak mendapatkan apa-apa dari kehadiran kaum kapitalis di sana, yang menikmati pemandangan indah kawasan itu. Sementara pihak subak hanya mendapaatkan porsi sebesar sepuluh persen dari uang masuk ke kawasan itu. Padahal, tanpa adanya kawasan subak, jelaas tidak ada wisatawan yang berkunjung.
Bahkan kapitalis yang membuat "private lunch" di sana, seenaknya memanfaatkan keindahan pemandangan subak, tanpa memberikan sumbangan apapun kepada subak.
Semua hal yang kini terjadi di kawasan Subak Jatiluwih, tampaknya karena dibentuknya Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (BP-DTW) di kawasan itu oleh Pemkab Tabanan.
Dengan dibentuk BP-DTW, maka dalam otak pengelolanya, yang ada hanyalah uang, uang, dan PAD bagi Pemkab Tabanan. Tidak terpikirkan ada nuansa pelestarian dan keberlanjutan. Padahal seharusnya yang dibentuk oleh Pemkab Tabanan adalah Badan Pengelola (BP)-WBD.
Dengan demikian, selain mendapatkan uang, maka harus juga diutamakan keberlanjutan, sesuai dengan janji NKRI kepada UNESCO. Diyakini bahwa kalau saja sekarang yang diutamakan adalah keberlanjutan sesuai ketentuan UNESCO, maka dalam jangka panjang uang yang masuk akan sangat besar, ujar Prof Windia. (WDY)