Denpasar (Antara Bali) - Akademisi dari Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan Windia menilai pengembangan teknologi organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali dengan bidang ekonomi, khususnya pariwisata, mampu memberikan dampak ganda.
"Sinergi antara kedua bidang itu mampu meningkatkan produksi bidang pertanian dan menambah aneka ragam objek wisata sehingga banyak alternatif pilihan bagi wisatawan mancanegara dalam menikmati liburan di Bali," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu di Denpasar, Senin.
Guru besar pertanian itu mengatakan, dalam sinergi kedua sektor tersebut, subak bersifat aktif dan sektor pariwisata bersifat pasif.
Sementara bidang pertanian tetap saja dalam status di sektor primer, sekaligus dalam konteks pemanfaatan kawasan subak sebagai kawasan pariwisata (agrowisata).
Untuk itu pemerintah sudah banyak melakukan kegiatan, di antaranya pernah membuat temu konsumen (pariwisata) dan produsen (pertanian).
Dalam pertemuan itu, diharapkan ada kontak dan kemudian diadakan kontrak antara kedua belah pihak. Namun program itu tampaknya tidak dapat membantu petani.
Prof. Windia mengingatkan, kondisi yang demikian itu akibat pembayaran dari pihak hotel tidak dilakukan segera, namun masih menunggu beberapa bulan kemudian. Hal itu menyebabkan petani tidak kuat bertahan dalam kondisi seperti itu.
Selain itu masih banyak kendala-kendala lainnya, yang akhirnya banyak mengambil keuntungan adalah kaum pedagang yang modalnya kuat dan besar.
"Sinergi bidang pertanian dan pariwisata akan berhasil jika ada campur tangan dari pemerintah dalam bentuk regulasi, dengan membentuk sistem pasar yang menguntungkan petani," ujar Prof Windia.
Pada sisi lain sejumlah petani yang terhimpun dalam Kawasan Subak Ceking, Tegallalang, Gianyar, di Kawasan Jatiluwih, Penebel, Tabanan, dan kawasan yang baru saja dimulai pengembangannya yakni di Kawasan Subak Lodtunduh, Ubud, Gianyar mulai menerapkan hal itu.
Sinergi pertanian dan pariwisata dengan berbagai variasi, namun tipe itu sangat bermanfaat, yakni menguntungkan petani dan mengendalikan alih fungsi lahan, seperti di Subak Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, sudah ada kesepakatan dari kalangan petani untuk tetap mempertahankan lahan pertanian sebagai kawasan sawah.
"Meskipun petani (subak) tidak mendapatkan uang sepeserpun dari tiket masuk ke kawasan subak yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia (WBD) itu, petani kini sedang berjuang untuk mendapatkan porsinya, dan hal itu perlu mendapat dukungan," ujar Prof Windia.
Sementara di Kawasan Ceking, Tegallalang, Kabupaten Gianyar, empat petani anggota subak mendapatkan kontribusi masing-masing Rp250.000 per enam bulan. Kontribusi itu didapatkan dari para pedagang yang memanfaatkan pemandangan alam kawasan subak tersebut.
Hak petani itu didapatkan setelah mereka melakukan protes. Namun tampaknya hak yang didapatkan petani masih relatif kecil dibandingkan nilai lebih yang didatangkan para pedagang, yang setiap hari ramai dikunjungi wisatawan, ujar Prof Windia. (WDY)