Perpaduan warna-warna yang cerah dengan penempatan yang tidak lazim dan janggal, namun harmonis menjadi gaya dan ciri tersendiri karya lukis "Young Artist" yang diperkenalkan oleh Adrianus Wilhelmus Smith.
Pria kelahiran Belanda itu kini menetap di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Dia lahir di Zaandam, Belanda, pada tahun 1916, dan telah menjadi warga negara Indonesia sejak 1950.
Lelaki gaek yang lebih populer dipanggil Arie Smith itu mempunyai semangat juang yang tinggi dalam mengajarkan masyarakat Desa Penestan, Ubud, Gianyar, berkreativitas di atas kanvas maupun membuat patung.
Masyarakat Desa Penestan seperti umumnya desa-desa lain di Bali sekitar tahun 1963, mengalami musim paceklik dan kesulitan bahan makanan akibat meletusnya Gunung Agung (3.142), gunung tertinggi di Pulau Dewata.
Arie Smith, pelukis asing yang kreatif itu kemudian mendidik dua pemuda gembala (pengangon) bebek untuk menekuni dunia seni lukis. Dari dua orang muridnya itu, terus bertambah hingga akhirnya mencapai 50-an orang.
Upaya "mencetak seniman" itu ternyata berhasil, dengan mulainya sebagian pemuda di desa setempat ikut tertarik menekuni aktivitas di atas kanvas, yang kemudian mampu meraih dolar, meskipun tidak belajar langsung dari Arie Smith.
Arie Smith bersama Rudolf Bonnet yang juga warga negara Belanda yang sama-sama pernah bermukim di Ubud dalam menghasilkan karya-karya seni lukis yang bermutu, hingga mengantarkan dirinya mendunia.
"Kisah perjalanan dua sosok warga negara Belanda itu turut mewarnai sejarah seni rupa Bali. Hal ini dapat disimak dalam dua sinema yang digarapnya dengan cukup serius," tutur Wayan Kun Adnyana (35), seniman yang juga pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia (FSRD ISI) Denpasar.
Kun Adnyana yang sedang menyelesaikan program doktor (S-3) di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu tampil sebagai pembicara dalam diskusi dan pemutaran film Bali tempo dulu Rudolf Bonnet dan Arie Smit: Cerita dunia seni rupa di Pulau Dewata.
Warga Desa Penestan, Ubud kini sebagian besar menekuni aktivitas seni lukis aliran Young Artist, yang merupakan penularan dari seniman asal Belanda tersebut.
Meski demikian seniman Penestanan tetap mampu menuangkan karya yang tidak terlepas dari nilai seni tradisional dan klasik Bali.
Arie Smith yang kini berusia 98 tahun bermukim di perkampungan seniman Ubud. Pada masa enerjiknya, dia dinilai sangat kreatif menghasilkan banyak karya seni bermutu dan menjadi pajangan koleksi museum Bali dan Penang Museum di Malaysia .
Dia pun pernah menggelar pameran di berbagai kota besar di mancanegara antara lain Jakarta, Singapura, Honolulu dan Tokyo.
Berkat prestasinya dalam bidang seni yang sangat menonjol dan kepedulian terhadap masyarakat Bali dalam mengajarkan seni lukis dan seni patung, dia pernah mendapat anugerah "Seni Dharma Kusuma", penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 1992.
Selain itu, pada usia senjanya, dia juga pernah mendapat anugerah "Lempad` dari Museum Seni Lukis Klasik Gunarsa yang bekerja sama dengan Sanggar Dewata Indonesia (SDI).
Terinspirasi karya Signac
Sosok Arie Smith yang kini menghabiskan usia senjanya di perkampungan seniman Ubud, kini telah menjadi warga negara Indonesia sejak tahun 1950.
Keluarganya pindah pada tahun 1924 dari Zaandam ke Rotterdam, di mana Smit akhirnya belajar desain grafis di Academy of Arts. Di masa mudanya ia terinspirasi oleh karya Signac, Gauguin dan Czanne.
Ia kemudian dikirim ke Hindia Belanda pada tahun 1938 sebagai lithographer. Dia datang pertama kali ke Bali tahun 1956. Semasa itu, kehadiran Arie Smit di Bali, khususnya di Ubud, melahirkan sebuah gaya lukis baru "Young Artist".
Arie Smith kemudian bersahabat dengan pendiri museum Neka, Pande Wayan Suteja Neka, hingga sekarang.
Pande Wayan Suteja Neka, pendiri museum swasta pertama di Indonesia itu menuturkan, proses perkenalannya dengan Arie Smith cukup panjang, berawal dari tahun 1973, saat Arie Smith bermukim di Desa Nyuhtebel, Karangasem, daerah ujung timur Pulau Bali.
"Saya datang menemuinya, ternyata Arie Smith sudah mengenal nama saya dari Rudolf Bonnet, seniman asal Belanda yang puluhan tahun pernah bermukim di Ubud," kata Pande Wayan Suteja Neka.
Hubungan dan kerja sama kedua insan menekuni aktivitas bidang seni itu terus berlanjut dan semakin akrab. Suteja Neka kemudian berhasil membangun Museum Neka tahun 1982, khusus mengoleksi karya-karya Arie Smith dan hasil kreativitas seniman lain yang bermutu.
Koleksi museum adalah karya seniman dalam maupun luar negeri yang karya seninya mendapat inspirasi dari lingkungan alam dan budaya Pulau Dewata.
Arie Smith menyumbangkan 50 karya seni untuk koleksi museum Neka, separuhnya adalah karya dari anak didiknya yang sudah dibeli.
Menurut Neka, hubungannya dengan Arie Smith sudah sangat jauh berkat persamaan apresiasi terhadap upaya meningkatkan mutu dan pelestarian seni budaya Bali.
"Kami membangun bale (balai) Arie Smith, bagian dari lingkungan Museum Neka yang khusus memajang karya-karya Arie Smith dan lukisan gaya Young Artist," tuturnya.
Pande Wayan Suteja Neka berhasil membangun museum seluas 2.850 meter persegi di atas lahan 9.150 meter persegi di tebing Sungai Campuhan, Ubud, yang terdiri atas tujuh gedung, diresmikan 7 Juli 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef.
Masing-masing gedung dibagi menjadi ruangan-ruangan dan tiap ruangan dihiasi karya di atas kantas maupun karya patung yang mampu menggambarkan sejarah perjalanan seni lukis di Bali dan di Nusantara.
Sedikitnya ada 312 koleksi yang menambah "kecantikan" museum itu yang terdiri atas lukisan klasik wayang gaya kamasan, lukisan gaya Ubud, Batuan, lukisan kontemporer Bali serta karya-karya seni lukis kontemporer Indonesia maupun mancanegara, di samping khusus lukisan karya Arie Smith.
Serdadu Belanda
Arie Smith yang namanya tidak asing bagi pencinta seni lukis nusantara maupun mancanegara itu pernah belajar melukis di Akademy of Art, Rotterdam, Belanda tahun 1938. Dia kemudian pergi ke Jakarta sebagai pegawai dan serdadu Belanda.
Ia berhasil menciptakan Litografi, yang berkaitan dengan pembuatan topografi tentang alam Indonesia, pernah menjadi dosen Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), kemudian hijrah ke Bali tahun 1950 hingga sekarang.
Aliran "Young Artist" yang ditekuni dan diajarkan kepada anak didiknya secara nonformal, mampu memberi warna dan corak khas serta fantastik. Seperti yang banyak dihasilkan seniman Desa Penestanan, yang memperkaya khasanah perkembangan seni lukis di Pulau Dewata.
I Ketut Parsa dan I Made Sukanta Wahyu, asal Desa Penestanan Ubud telah membuktikan mewarisi keahlian seni lukis dan seni patung beraliran "Young Artist", sehingga mampu mengubah dirinya dari seorang petani menjadi seniman andal.
Sosok Arie Smith dalam aktivitas seni dikenal sebagai pelukis pemuja "alam lewat warna", dimanifestasikan dengan kemurnian jiwa seorang penjelajah yang berjalan di bawah cahaya matahari tropik.
Di atas kanvas atau kertas, goresannya serta merta bersemburan citra ragam unsur warna yang selalu nampak menyelimuti segala benda dan panorama yang diabadikan.
Karya-karya seni hasil ciptaan Arie Smith menjadi koleksi sejumlah museum di dalam dan luar negeri, antara lain mengangkat tema-tema objek beragam dari gunung sampai laut.
Ciri dan warna lukisannya adalah antara semu dan samar, ditimpa aneka warna marak. Dua unsur utama lukisan-lukisannya, yakni bentuk dan warna, menyatu dalan sintesa yang masing-masing tampak tidak perlu ditampilkan dominasinya.
"Karya saya mirip dengan nyanyian kanak-kanak yang meletup dari sebuah penghayatan penuh realisme puitik," demikian Arie Smith pernah bertutur. (WDY)
Arie Smith Ciptakan Lukisan Young Artist
Sabtu, 26 April 2014 8:35 WIB