Denpasar (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana Prof I Gusti Bagus Wijaya melihat misi menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap secara masif di Bali masih berat penerapannya.
Hal ini disampaikannya dalam Pelatihan Media Mewujudkan Bali Emisi Nol Bersih 2045 menyikapi sedang gencarnya Pemprov Bali mendorong transisi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan PLTS atap.
Ia di Denpasar, Rabu, menilai untuk memanfaatkan energi surya kurang tepat menggunakan photovoltaic (PV) atau pembangkit yang dipasang di atap bangunan untuk menghasilkan energi listrik.
“Ya (masih berat) kecuali jangan pakai PV, seperti Uni Emirat Arab pakai solar thermal karena PV kita masih mahal,” kata Prof Wijaya.
Ia sendiri cukup kesulitan menentukan energi terbarukan seperti apa yang tepat dikembangkan di Bali dan mampu berjalan berkelanjutan, sebab pengelolaan unit merupakan salah satu tantangan dalam isu transisi energi selama ini.
Jika hendak masif menggunakan PLTS atap, menurut dia, lebih banyak lagi tantangan, selain mahal, proses kembali modalnya membutuhkan waktu belasan tahun paling cepat.
Baca juga: Gubernur Bali dorong pelaku usaha mulai gunakan PLTS atap
Hasil dari pemanfaatan PLTS atap juga dilihat belum dapat menutupi kebutuhan, ia mencontohkan hotel sebagai salah satu juga perusahaan swasta yang didorong Pemprov Bali untuk menggunakan energi terbarukan.
“Kapan transisi energi jadi, anggap hotel saya ubah atapnya jadi PLTS, anggap ini 25 are dan satu panel ukurannya 2 meter jadi butuh 1.250 panel, itu dikalikan 300 watt, sedangkan hotel ini berapa pemakaiannya? Saya tidak pakai PLN bisa tidak, tidak akan mungkin,” ujar Prof Wijaya.
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra menambahkan bahwa biaya PLTS atap memang tergolong mahal untuk penggunaan rumah tangga.
Namun, menurut dia, tidak salah jika pada fase awal mendorong penggunaan media ini digunakan oleh pihak-pihak swasta terutama industri pariwisata di Bali.
“Kita dorong lebih jauh pariwisata bisnis-bisnis lainnya yang ada di Bali, tapi untuk rumah tangga memang saya rasa belum, mungkin nanti seiring berjalannya waktu, semakin maju semakin tinggi kemampuan ekonominya saya rasa itu bisa,” kata dia.
Baca juga: Pemprov Bali tolak pasokan energi dari luar agar fokus PLTS atap
Menurut dia, jika masyarakat ingin terlibat dalam transisi energi sebelum terjun ke penggunaan media seperti PLTS atap dan lain sebagainya dapat memulai dari menghemat energi.
“Paling mudah adalah efisiensi yang tinggi, misalnya model kendaraan, kita bisa lebih banyak pakai transportasi umum, atau kebiasaan kita untuk pakai lampu, AC, bisa pelajari soal konsumsi energi,” kata Alvin.