Denpasar (ANTARA) - Yayasan yang bergerak di bidang riset dan edukasi kelautan yaitu Indonesian Marine Education and Research Organisation (Mero) Foundation membuktikan bahwa penggunaan PLTS di ruang swasta bukan hanya untuk komersial dan promosi.
Hal ini disampaikan Pendiri Mero Foundation Rahmadi Prasetyo, di Karangasem, Bangli Jumat (23/5), dengan penggunaan PLTS atap bukan digunakan untuk mempromosikan yayasannya melainkan mendukung operasional laboratorium dan menekan biaya yang selanjutnya dialihkan untuk dana riset.
“PLTS ini sangat penting bagi kami bukan untuk promosi, entah menguntungkan atau tidak yang jelas kami komitmen untuk ramah lingkungan dan disini listrik memang tidak boleh mati untuk menghidupi laboratorium yang ada,” kata dia, saat Jelajah Energi Bali Bersama IESR.
Baca juga: 100 rumah nikmati aliran listrik dari PLTS apung sisa G20
“Sebelum pasang PLTS atap biaya listrik juga lebih mahal, ini jadi hemat satu per tiga kali dari sebelumnya, jadi uangnya bisa untuk penelitian yang mahal, beli rumput laut (bahan salah satu penelitian) yang mahal ini,” ujar Rahmadi.

Diketahui sejak 2017, Mero Foundation di Kecamatan Kubu, Karangasem, memutuskan memasang 64 panel surya yang menghasilkan daya 250 watt per unitnya.
Rahmadi mengatakan awalnya tujuan memasang PLTS atap sebagai komitmen, agar yayasannya yang berdiri untuk riset dan edukasi kelautan berkontribusi terhadap lingkungan.
Tujuan lain awalnya adalah untuk mendukung jalannya aksi sosial dan pendidikan disana, dimana laboratorium berisi mikroba laut harus tetap terjaga suhunya menggunakan listrik.
Setelah ditelusuri, laboratorium di pinggir pantai ini dirasa tepat untuk mendirikan PLTS, sebab setiap hari mereka mendapat sinar matahari yang melimpah.
“Kami manfaatkan matahari karena potensi di Karangasem jarang hujan, panasnya penuh, itu potensi yang dimanfaatkan di samping dari awal ingin punya konsep ramah lingkungan sekalian edukasi dalam hal energi,” ujarnya.
Baca juga: Bali andalkan PLTS Atap solusi cadangan listrik kurang
Meski bersifat on grid disalurkan ke PLN, Mero Foundation mendata setidaknya 30 persen dari listrik yang dibutuhkan untuk penelitian tertutupi oleh PLTS atap.
Salah satu peneliti bernama Ayu Indah menambahkan bahwa energi listrik sangat penting di laboratorium, salah satunya menjaga suhu biota yang sedang diteliti yaitu pada suhu -18 derajat Celsius.
Selain pendingin ada pula alat sejenis mikroskop yang membutuhkan daya listrik tinggi untuk melihat mikroba atau benda-benda kelautan yang hendak diteliti.
Meskipun yayasan ini sepenuhnya memanfaatkan PLTS atap untuk sosial dan pendidikan, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Sisdwinugraha menjelaskan, pembangkit tenaga surya itu dapat memberikan manfaat ekonomi.
“Studi Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025 oleh IESR menunjukkan bahwa pengembalian investasi PLTS atap bagi bangunan komersial skala menengah tercapai dalam waktu 11–12 tahun melalui penghematan tagihan listrik,” ujarnya.
Bali menjadi salah satu provinsi dengan adopsi PLTS atap tertinggi hingga 2024, dengan total instalasi lebih dari 5 MW yang tersebar pada hampir 400 pelanggan.
“Ini menegaskan bahwa Bali semakin serius dan aktif dalam mendukung target Bali emisi nol bersih 2045 melalui pengembangan energi terbarukan yang sekaligus menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha,” kata Alvin.