Jaksa Kejaksaan Tinggi Bali menuntut tiga tahun penjara kepada terdakwa I Ketut Budiarsa (65) dalam kasus dugaan korupsi dana pengadaan alat kesehatan (alkes), KB dan kendaraan khusus RSUD Badung yang merugikan negara Rp6,2 miliar.
Surat tuntutan terhadap terdakwa Ketut Budiarsa dibacakan secara bergantian oleh JPU Ni Luh Oka Ariani Adikarini dan Ni Wayan Rismawati di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Bali, Kamis.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan Budiarsa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Ketut Budiarsa atas kesalahannya dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp50 juta, subsidair 3 (tiga) bulan kurungan," kata jaksa Oka Ariani di hadapan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar Nyoman Wiguna.
Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa Ketut Budiarsa untuk membayar ganti rugi sebesar Rp743.821.590,36 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak mampu membayar ganti rugi setelah satu bulan putusan memperoleh putusan tetap, maka Jaksa dapat menyita harta bendanya dan dilelang untuk negara.
Namun demikian, apabila terdakwa tidak memiliki harta yang cukup untuk menggantikan uang ganti kerugian negara tersebut, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Setelah JPU membacakan tuntutannya, Hakim Nyoman Wiguna menutup persidangan dan meminta terdakwa I Ketut Budiarsa untuk membacakan pledoi atau nota pembelaan pada pekan depan.
Pada persidangan sebelumnya terungkap dalam surat dakwaan bahwa pada tahun 2013 terdakwa Ketut Budiarsa bersama saksi I Ketut Sukartayasa, saksi I Ketut Susila dan saksi Muhammad Yani Khanifudin (ketiganya terpidana dalam berkas terpisah) melakukan perbuatan secara melawan hukum yaitu telah ikut serta dalam menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) terhadap pengadaan barang alat kesehatan pada RSUD Badung.
Dalam ketentuannya, seharusnya penyusunan HPS merupakan kewenangan daripada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Karena perbuatannya tersebut, nilai HPS menjadi tidak wajar hingga menimbulkan pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang atau jasa. Dalam hal itu, terdakwa tidak menerapkan prinsip pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil atau tidak diskriminatif, dan akuntabel, serta mengabaikan etika pengadaan dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain.
Setelah dilakukan perhitungan perbuatan terdakwa Ketut Budiarsa telah memperkaya Ni Ketut Widyawati sebesar Rp10 juta, I Wayan Bagiarta sebesar Rp335.917.050, saksi Muhammad Yani Khanifudin sebesar Rp279.938.424, PT. Emas Indoappliance sebesar Rp65 juta, I.B. Mudiartha sebesar Rp68 juta, I Made Susila sebesar Rp1.273.629.325, Nino Adtya Maryono sebesar Rp635.390.000. Juga, memperkaya terdakwa sendiri sebesar Rp3.397.708.271.
Atas perbuatan terdakwa bersama saksi lainnya telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini merugikan keuangan negara cq Pemerintah Kabupaten Badung sebesar Rp6.287.846.854,36.
Perhitungan tersebut berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara No: SR-585/PW22/5/2016 tanggal 28 Nopember 2016 yang dibuat oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Bali.
Dalam dakwaan juga terungkap terdakwa Ketut Budiarsa berperan aktif dalam proses terbentuknya HPS maupun penentuan pelaksana dan nilai kontrak kegiatan pengadaan alat kedokteran, kesehatan, KB, dan kendaraan khusus RSUD kabupaten Badung tahun anggaran 2013 bersama-sama dengan saksi I Ketut Sukartayasa.