Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - PT Bio Farma (Persero) mampu mengantarkan Indonesia berkibar di dunia internasional, berkat produksi berbagai jenis vaksin yang menembus pasaran 117 negara, dengan harga bersaing dan kualitas terjamin.
Badan usaha milik negara (BUMN) dengan saham sepenuhnya milik pemerintah dan satu-satunya produsen vaksin dan antisera di Indonesia selama tiga tahun terakhir mendapat penghargaan Primaniyarta Award dari Kementerian Perdagangan sebagai eksportir berkinerja terbaik.
Perusahaan yang didukung sumber daya manusia (SDM) sekitar 900 orang itu setiap tahunnya mendistribusikan lebih dari 1,7 miliar dosis vaksin untuk memenuhi kebutuhan imunisasi di berbagai negara, tutur M. Rahman Rustan, corporate secretary PT Bio Farma.
Di sela-sela pertemuan ke-13 Jaringan Produsen Vaksin Negara-Negara Berkembang (Developing Countries Voccine Manufacturers Network -DCMN) yang melibatkan 37 produsen vaksin dari 14 negara berkembang yang berlangsung di Kuta, Bali 31 Oktober-2 November 2012, Ia menambahkan, perdagangan vaksin mempunyai nilai strategis.
Selain menghasilkan devisa juga mempunyai peran penting untuk yang sangat dibutuhkan untuk bersama-sama mencegah timbulnya berbagai jenis penyakit menular.
Presiden Jaringan Produsen Vaksin Negara-Negara Berkembang (DCVMN) periode periode 2012-2014 yang baru terpilih, Mahendra Suhardono yang juga dari PT Bio Farma mengharapkan negara anggota bersinergi mengembangkan vaksin bagi kepentingan kemanusiaan.
Vaksin harus dirasakan manfaatnya oleh segenap umat manusia, khususnya di negara-negara berkembang, karena ke depan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat ke 14 negara berkembang anggota DCVMN dapat bersinergi dan meningkatkan kerja sama dalam mengembangkan vaksin baru dalam jumlah yang banyak dengan harga yang terjangkau.
Mahendra Suhardono menggantikan presiden sebelumnya, Akira Homma dari Bio Manguinhos Fiocruz, Brazil menjelaskan, Indonesia segera memproduksi vaksin terbaru, yakni "pentavalent" yang berisi lima antigen sekaligus, di antaranya Difteri Tetanus Pertusis (DTP), Hepatitis B dan Haemaphilus Influeanza tipe B (Hib), yang berfungsi untuk pencegahan terhadap penyakit meningitis dan pneumonia (radang selaput otak) pada balita.
"Kita sedang membuat pabrik untuk vaksin itu. Tahun depan akan diprakualifikasi WHO dan akan dipakai untuk kebutuhan Indonesia," tutur Mahendra Suhardono, ahli pembuatan vaksin yang kini menjabat sebagai Direktur Produksi Bio Farma.
Pihaknya telah banyak menjalin kerja sama dengan beberapa produsen vaksin dari beberapa negara berkembang di antaranya dari India dan Afrika Selatan.
Demikian pula memperkuat kerja sama dalam memperbanyak vaksin yang sudah dimiliki dan menciptakan vaksin baru melalui transfer teknologi. Hal itu dilakukan mengingat akses teknologi tetap menjadi salah satu tantangan ke depan bagi negara berkembang untuk bisa memproduksi vaksin baru di negaranya sendiri.
Oleh sebab itu harus dicari jalan keluar terkait akses teknologi agar negara anggota DCVMN bisa memproduksi banyak vaksin baru lagi sehingga tidak lagi membeli atau tergantung dari negara lain.
Mantapkan Komitmen
Mahendra Suhardono menambahkan, pertemuan tiga hari yang melibatkan 37 produsen vaksin dari 14 negara berkembang menjadi ajang efektif dalam memantapkan komitmen transfer teknologi dalam memproduksi vaksin.
Bahkan di antara anggota DCVMN telah menjalin kerja sama antarnegara, seperti Indonesia dengan India dan Afrika Selatan. Selama pertemuan berlangsung hampir tidak ditemukan tantangan berat, karena para peserta menyadari benar pentingnya memperbaharui informasi teknologi maupun regulasi vaksin.
Idealnya transfer teknologi itu dimulai dari mencari bibit vaksin, riset hingga terciptanya produk akhir vaksin. Hanya saja, transfer teknologi untuk pengembangan vaksin menjadi terkendala di sejumlah negara berkembang terkait dengan tingginya jumlah populasi.
Produksi vaksin dalam jumlah besar dengan harga yang terjangkau relatif membutuhkan dana yang besar termasuk untuk kepentingan transfer teknologi.
Demikian pula teknologi menyangkut paten dan teritori. Masalahnya adalah negara-negara tertentu siap atau tidak untuk menerima transfer teknologi yang pada prinsipnya harus saling menguntungkan.
Menurut Mahendra, selama ini tantangan dalam memproduksi vaksin adalah dibutuhkannya biaya besar dan waktu yang lama untuk melakukan riset. Sementara DCVMN sendiri ditujukan untuk memproduksi vaksin dalam jumlah yang lebih besar dengan harga terjangkau sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak umat manusia.
Vaksin yang murah itu harus tetap mengedepankan kualitas, aman dan efektif dalam mencegah berbagai penyakit.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang yang membuka pertemuan bertaraf internasional itu sangat mendukung dan mendorong peningkatan produk berbagai jenis vaksin di Indonesia sesuai permintaan Badan Kesehatan Dunia (WHO) guna mengantisipasi terjadinya pandemik.
Peningkatan produksi vaksin yang dilakukan oleh PT Bio Farma diharapkan mampu menyukseskan imunisasi balita, mengingat program pembangunan kesehatan sangat membutuhkan vaksin.
Imunisasi sangat efektif untuk pencegahan penyakit infeksi dan penyakit menular, sehingga Kementerian Kesehatan sangat mendukung dan mendorong peningkatan produksi vaksin di dalam negeri, ujar Maura Linda Sitanggang.(*/T007)