Oleh M. Irfan Ilmie
Bara api yang menghanguskan sebagian bangunan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Denpasar di Kerobokan, Kabupaten Badung, pada 21 Februari 2012, memang kini telah padam.
Namun, kobaran api yang menjilat-jilat telah meninggalkan bekas bagaikan grafiti tentang perpaduan hitam dan putih di dinding bangunan penjara itu.
Di antara puing-puing bangunan yang masih berserakan akibat peristiwa kelam pada Selasa malam itu, masih berdiri tegar sebuah bangunan yang pada bagian tengahnya disangga empat pilar.
Bangunan tanpa dinding itu diberi nama "At-Taubah". "Mungkin saja yang memberikan nama ini berharap kelak para narapidana termasuk golongan 'tawwaabiin' (sekumpulan orang-orang yang bertobat)," kata Rahab, takmir Masjid At-Taubah.
Selain mengurusi sarana peribadatan, pria yang menghuni penjara akibat terjerumus dalam obat-obatan terlarang itu juga bertindak sebagai imam shalat lima waktu di masjid berdaya tampung 250 orang itu.
"Kebetulan baru dua bulan ini saya 'turun'. Jadi, bisa total mengurusi masjid dan kegiatan jamaah di sini, apalagi pada bulan puasa," tutur pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 43 tahun silam, dengan nama Ali Ichwan Harahap.
Para penghuni Lapas Kerobokan menyebutkan istilah "turun" bagi mereka yang layak mendapatkan pengamanan minimum di dalam penjara karena perilakunya dinilai baik dan telah menjalani separuh atau dua pertiga masa hukuman.
Setelah memperoleh status "turun", Rahab tidak saja diberikan keleluasaan untuk mengurusi teman-temannya dalam melaksanakan ibadah. "Saya juga bisa membuka semacam warung kopi kecil-kecilan di Blok G," katanya sambil menunjuk sebuah blok penjara di sebelah barat masjid itu.
Aktivitas barunya sebagai takmir sekaligus imam masjid seakan mengubur masa-masa silam yang memaksanya meninggalkan istri seorang diri mengurusi lima anaknya dengan usaha kecil-kecilan di kawasan Legian, Kuta.
Ia tak ingin menyesali obat-obatan terlarang tersimpan di sela-sela kerajinan tangan yang dipajang di tempat usahanya di Legian itu. Ia juga tak mau meratapi ulah anak buah yang mengantarkannya ke balik jeruji besi selama lima tahun itu.
"Bagi saya, semua ini sudah digariskan. Dan, saya tidak menyesal sedikit pun karena pasti ada hikmahnya," katanya selepas shalat tarawih, Jumat (27/7) malam.
Justru, sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa kelak akan menjadi pemuka agama, meskipun dalam lingkup kecil di kompleks penjara.
"Belum tentu juga di luar sana saya bisa menjadi imam, meskipun untuk keluarga sendiri," ujar Rahab yang masih harus menunggu hingga dua tahun ditambah tiga bulan untuk bebas murni itu.
Pesantren Tanpa Pengasuh
Masjid At-Taubah, satu di antara beberapa bangunan yang luput dari amukan massal para penghuni Lapas Kerobokan.
Beberapa bangunan di sekelilinginya, termasuk ruang administrasi dan tempat penyimpanan senjata serta ruang logistik telah rata dengan tanah dalam peristiwa yang dipicu oleh akumulasi kekecewaan para narapidana akibat adanya pembedaan perlakuan.
"Kami dan beberapa teman menjaga agar keberingasan teman lain tidak sampai merembet ke masjid ini," kata Hasyim, penghuni sel Blok I.
Pendekatan persuasif para penghuni Blok I dan Blok E yang didominasi tahanan beragama Islam dengan penghuni blok lainnya seakan membentengi masjid itu dalam peristiwa berdarah lima bulan silam.
Di Blok I dan Blok E, para penghuni yang secara keseluruhan jumlahnya mencapai 197 itu menempa diri dengan ilmu-ilmu agama. Di kedua blok itu, mereka yang mayoritas terjerat kasus narkoba mendalami ilmu hadis melalui kitab "Shohih Buchori Muslim".
Demikian halnya kitab-kitab karya ulama modern tentang tauhid, fikih, dan tasawuf, mereka pelajari.
Kedua blok yang memanjang di salah satu sudut penjara tak jauh dari objek wisata Pantai Kuta itu mirip sebuah pondok pesantren. Mungkin, yang membedakan dengan pondok pesantren umumnya adalah tidak adanya pengasuh dari seorang kiai atau ustaz. Mereka belajar mandiri dan mendiskusikannya bersama-sama.
"Kemudian di antara kami ada yang menjadi penceramah secara bergiliran," kata Hasyim yang cukup lama bergelut dalam bisnis narkoba itu.
Kitab dan buku-buku agama itu, sebut dia, didapat dari Kementerian Hukum dan HAM, instansi lain, donatur, atau dari keluarga penghuni Lapas Kerobokan.
Keberadaan Blok I dan Blok E yang tiba-tiba menjelma sebagai lembaga pendidikan ala pesantren tidak terlepas dari peran para penghuni terdahulu.
"Ada nama Bang Endi, Babe, dan Amrozi yang menjadikan cikal-bakal blok ini semacam pesantren kecil di penjara," sebut pria kelahiran Karangasem, Bali, 27 tahun silam itu.
Endi terpidana kasus narkoba dan Babe terpidana kasus pembunuhan kini telah menjadi penceramah di Bali dan Surabaya. Kecuali Amrozi yang tewas dieksekusi di Nusa Kambangan, Endi dan Babe masih kerap mengunjungi Blok I dan Blok E untuk sekadar bermuhasabah.
Apalagi, beberapa penghuni Blok I dan Blok E kini memberikan pelajaran dasar tentang agama Islam untuk penghuni Blok G. "Kebetulan di Blok G ada sekitar 54 narapidana beragama Islam," kata Hasyim mengenai kedatangan dua seniornya itu.
Upaya yang terus dia lakukan sedikit memberikan pemahaman tentang agama, terutama bagi para penghuni Lapas yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama.
"Dua bulan di sini, saya jadi tahu tentang agama," kata Rohman (23), penghuni Blok I yang masih menunggu vonis dari majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar.
Bahkan, Hasyim sendiri sebelumnya juga tidak pernah mengenyam pendidikan agama. Pria yang dijebloskan ke penjara karena pekerjaannya sebagai kurir narkoba itu menganggap bahwa penjara adalah tempat mendapatkan azab di dunia.
"Meskipun menjadi kurir, saya tidak pernah menikmati apalagi mencicipi narkoba. Saya menikmati sebagai kurir karena memang menjanjikan. Azab dari kenikmatan itu yang menjadikan saya berada di sini," selorohnya.
Toleransi
Hasyim dan kawan-kawan menyadari bahwa menghuni penjara di Pulau Dewata haruslah mengedepankan sikap toleransi.
Ia turut merasakan luka akibat tindakan terorisme yang dilakukan Amrozi Cs pada 11 tahun silam sampai sekarang masih membekas di hati masyarakat Bali.
Oleh sebab itu, ilmu agama yang dipelajari di penjara sebagai wujud ikhtiar memperkuat iman dalam kondisi serba prihatin sekaligus sebagai bekal untuk kehidupan nanti.
"Tidak ada baiat-baiatan. Ilmu agama yang dipelajari di sini murni tentang ibadah dan muamalah serta penguatan batin," tegas Hasyim yang berasal dari Desa Sindu, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, itu.
Kepada para penghuni Lapas Kerobokan beragama lain, mereka sangat hormat. Bahkan, tak jarang mereka juga turut membantu kebersihan halaman pura, gereja, dan vihara.
"Kalau tidak ada toleransi, mungkin saja masjid ini hancur oleh beberapa peristiwa kerusuhan di dalam Lapas," kata Hasyim.
Berdasarkan data per 29 Juli 2012, jumlah penghuni Lapas Kerobokan sebanyak 920 orang. "Sekitar 30 persen di antaranya beragama Islam dan 60 persen Hindu. Sisanya Katolik, Kristen, dan Buddha," kata Kepala Lapas Kerobokan Gusti Ngurah Wiratna.
Mantan Kepala Lapas Karangasem itu kagum atas semangat spiritual beberapa warga binannya. "Apa yang kita lakukan ini tidak berarti apa-apa tanpa pertolongan Tuhan. Ternyata di Lapas ini mereka bisa mendekatkan diri kepada Tuhan," katanya.
Wiratna memandang insiden kerusuhan yang terjadi pada 21 Februari lalu itu lebih disebabkan kurang dekatnya sipir dan penghuni Lapas dengan Tuhan.
"Kalau sekarang kegiatan keagamaan kembali dihidupkan oleh masing-masing penghuni sesuai keyakinannya, saya sangat bersyukur dan tentu saja mendukungnya dengan kebijakan," kata mantan kepala pengamanan di sejumlah Lapas di Pulau Jawa itu.
Terkait upaya beberapa penghuni Lapas Kerobokan menjadikan Blok G sebagai tempat mendalami pendidikan agama Islam seperti di Blok E dan Blok I, Wiratna telah memberi isyarat lampu hijau karena baginya, ilmu agama dapat membentengi mereka dari perbuatan nista. Bahkan, dia berjanji akan merenovasi bangunan masjid yang dinilainya tidak memenuhi syarat itu.
Lapas Kerobokan yang selama ini dikenal sebagai "sekolah lanjutan" bagi pencandu dan pengedar narkoba macam Schapelle Leigh Corby, Edward Norman Myatt, dan segerombolan anak muda dari Australia yang menamakan dirinya "Bali Nine", ternyata juga menyimpan mutiara seperti Rahab, Hasyim, dan Rohman.
Dan, mutiara tetaplah mutiara, di mana pun dia berada.(M038/T007)
Pintu Tobat Itu Ada Di Pojok Penjara
Minggu, 29 Juli 2012 18:18 WIB