Oleh Ni Luh Rhismawati
Denpasar (Antara Bali) - Ruang kuliah perguruan tinggi di Bali yang memiliki fakultas keguruan kini tak lagi terlihat sepi, tak terkecuali untuk jurusan keguruan bahasa dan sastra daerah yang dulunya minim peminat.
Demikian halnya dengan kampus-kampus yang menawarkan program akta mengajar IV pada setiap kelas yang dibuka selalu penuh dengan tamatan sarjana yang mendaftar.
Berkaca dari fenomena itu ada tren generasi muda yang makin menggandrungi kampus-kampus yang memiliki program keguruan. Hal itu sekaligus sebagai gambaran anak muda zaman sekarang yang merasa terpanggil untuk menapaki jalan "pahlawan tanpa tanda jasa" itu.
Namun jika merunut ke belakang, rupanya kecenderungan mahasiswa di Pulau Dewata terlihat berjalan seirama dengan mulainya para guru memperoleh sertifikat pendidik pada 2007.
Program sertifikasi guru yang kemudian menelurkan adanya sertifikat pendidik dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, bak menjadi magnet penarik generasi muda kita mencintai profesi sebagai guru.
Padahal pada periode ada keengganan masyarakat menjadi guru karena gajinya tak dapat memenuhi kebutuhan. Benarkah sertifikasi guru ini diorientasikan semata peningkatan kesejahteraan para pencetak generasi-generasi cerdas bangsa?
Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar Dr Ir Putu Rumawan Salain mengatakan butir penting dari program sertifikasi guru, sejatinya tak hanya pada peningkatan kesejahteraan guru, tetapi semakin menegaskan bahwa guru sebagai sebuah profesi yang harus dijalankan dengan profesional.
Dengan program sertifikasi guru, berdampak positif bagi pengembangan keilmuan karena guru semakin dipacu bekerja lebih baik, aktif menulis dan melakukan penelitian.
"Tidak serta merta guru yang telah mengantongi sertifikasi dan memiliki sertifikat pendidik mendapatkan tunjangan profesinya jika tak diimbangi dengan tindakan-tindakan yang diamanatkan program ini," kata Rumawan yang juga akademisi dari Universitas Udayana itu.
Bahkan sertifikat pendidik yang telah dikantongi dapat dicabut jika dalam kurun waktu tertentu secara berturut-turut tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan.
Pendapat senada dilontarkan oleh Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Bali Drs I Gede Wenten Aryasudha MPd, dengan adanya program sertifikasi guru menjadi salah satu langkah untuk membangun karakter pendidik.
"Ibarat pisau, guru yang telah mengantongi sertifikat pendidik diharapkan menjadi semakin tajam dalam penguasaan kelas, strategi pembelajaran, dan penguasaan keilmuan," kata Wenten yang juga Kepala SMP PGRI 2 Denpasar itu.
Ia tidak memungkiri bahwa dalam membangun karakter pendidik seperti yang dicita-citakan berbagai kalangan memerlukan proses. "Guru yang tersertifikasi sudah ada peningkatan kemampuan, ada yang signifikan dan ada juga yang belum optimal. Hal ini patut disadari karena membangun karakter itu tidak seperti membangun gedung, begitu jadi lantas bisa ditempati dengan nyaman," ucapnya mencontohkan.
Sementara itu, Koordinator Penyelenggara Sertifikasi Guru Wilayah Bali Prof Dr Nyoman Sudiana mengatakan pentingnya kualitas pendidik dalam proses pembelajaran sangat menentukan agar dapat lulus dalam program sertifikasi guru.
Menurut dia, guru yang tidak lulus uji sertifikasi pada umumnya dikarenakan kelemahan mendasar di bidang perencanaan pembelajaran.
"Ini berdasarkan evaluasi pelaksanaan program sertifikasi guru tahun sebelumnya. Perencanaan pembelajaran yang lemah itu jelas berpengaruh signifikan terhadap kualitas proses transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada anak didik," kata Sudiana.
Tanpa didukung perencanaan pembelajaran yang terstruktur dan tersistematis, maka daya serap anak didik terhadap materi pelajaran dipastikan tidak tercapai sesuai target.
Menurut Sudiana yang juga Rektor Universitas Pendidikan Ganesha ini, kelemahan mendasar para guru di bidang perencanaan pembelajaran itulah yang dicoba dipecahkan pada pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).
Mengatasi permasalahan itu, pihaknya akan memberikan materi "peer teaching" kepada guru-guru peserta PLPG. "Aplikasi dari materi ini, para guru tidak hanya digembleng dengan penguasaan teori bidang studi yang mereka ajarkan, tapi juga dibekali dengan metode dalam menyusun perencanaan pembelajaran di kelas," katanya.
Berkelanjutan
Pada 2011, sebanyak 7.647 guru di Bali mulai dari jenjang pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah lanjutan tingkat pertama dan telah lulus sertifikasi
Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Bali, Dr I Wayan Sunata mengatakan sebagian besar dari mereka lulus melalui jalur pendidikan latihan profesi guru (PLPG) yang dilakukan oleh Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksa) Singaraja.
"Jalur PLPG dengan mengikuti pelatihan rata-rata selama sepuluh hari sebanyak 7.575 orang, jalur fatologi yakni menyerahkan berkas-berkas dalam proses belajar mengajar 59 orang dan lewat program sertifikasi penilaian langsung 13 orang.
Ia menambahkan, Bali untuk 2012 mendapat kuota untuk melakukan sertifikasi guru terhadap 6.500 orang untuk semua jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Rumawan Salain mengharapkan program sertifikasi guru di Tanah Air dapat berkelanjutan. "Memang program ini menjadi amanat undang-undang Dosen dan Guru dan seyogyanya terus ada walaupun ganti menteri. Hanya saja saya khawatir juga dengan guru-guru yang baru, jangan sampai target penuntasan sertifikasi guru 2015 itu, akhirnya ke depan program ini diubah apalagi terhenti," katanya.
"Persyaratan untuk mendapatkan sertifikat pendidik kan salah satunya pengalaman masa kerja sekian tahun sehingga bagi guru yang baru-baru tentu mereka tidak berpeluang untuk mengikuti proses ini dalam waktu dekat. Oleh karena itu, patut dipastikan bahwa program seperti ini ke depannya tidak terhenti," ucapnya.
Rumawan mengapresiasi positif program sertifikasi guru telah banyak dilakukan pembenahan, salah satunya dengan sistem pendaftaran online untuk meminimalisasi kecurangan.
Hanya saja, ia berharap mekanisme online ini juga dibarengi dengan kesiapan petugas administrasi di masing-masing sekolah.
"Memang guru-guru dengan sertifikasi ini dituntut lebih disiplin dalam menata berkas-berkasnya agar mudah diakses maupun aktif melakukan penelitian di samping kualitas pengajarannya. Namun jika itu diurus oleh guru sendiri, saya rasa mereka tidak akan cukup punya waktu di tengah kesibukannya mengajar keseharian," ucapnya.
Oleh karenanya diperlukan dukungan tata administrasi yang baik juga dari pihak sekolah supaya hasil penelitian tidak tercecer begitu saja.
"Sistem online belum tentu juga dikuasai oleh para guru yang sudah masuk kategori lanjut usia. Paling tidak pemerintah ke depannya perlu memberikan bentuk-bentuk perhatian khusus kepada para guru yang sudah sekian lama mengabdi dengan profesinya itu," katanya.
Terbentur Jam Mengajar
Di samping manfaat yang diperoleh dari program sertifikasi guru, Ketua PGRI Bali Wenten Aryasudha melihat masih ada kelemahan dalam implementasi program sertifikasi itu.
Salah satu kelemahan itu mengenai ketentuan jam mengajar minimal 24 jam dalam sepekan. "Bagi para guru yang mengajar di sekolah berstatus negeri, kekurangan jam mengajar dapat dipenuhi dengan mengkompensasi mengajar di sekolah swasta. Namun, bagi para guru yang di sekolah swasta apa mungkin mencari tambahan jam mengajar di sekolah negeri?," tanyanya.
Di sekolah swasta, kata dia, dengan jumlah siswa yang tidak menentu membuat guru sulit memenuhi 24 jam mengajar.
Oleh karenanya, ke depan dia berharap untuk guru sekolah swasta, bisa dibuatkan semacam kebijakan agar kekurangan jam mengajar bisa dikompensasi dengan jam mengajar guru pada saat mengisi les siswa maupun pengayaan.
"Begitu juga dengan para guru lama yang direkrut dengan inpres-inpres, mohonlah dapat dilihat secara proporsional. Jangan mereka dipaksakan persyaratan harus menyandang gelar sarjana dulu untuk mendapatkan sertifikasi pendidik," ucap Wenten.
Seperti yang diketahui, program sertifikasi itu diprioritaskan untuk guru yang sudah menyandang gelar sarjana S-1.
Memang menurut Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Bali, Dr I Wayan Sunata guru-guru yang sudah mempunyai pengalaman kerja 20 tahun ke atas dengan umur lebih dari 50 tahun juga mendapat perioritas dalam seleksi sertifikasi guru.
Meskipun guru-guru itu tidak memiliki ijasah S-1, jika dinyatakan lolos pelatihan yang dilakukan Undiksa juga berhak atas tunjangan profesi guru. "Namun ketentuan itu hanya berlaku hingga 2014," ujar Sunata.
Sedangkan untuk efektivitas dari pemberian tunjangan profesi sebesar satu kali gaji bagi guru yang telah tersertifikasi, Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar Dr Ir Rumawan Salain menyarankan agar tidak diberikan menumpuk sekali untuk beberapa bulan.
"Lebih baik itu diberikan tiap bulan sehingga dapat optimal dibelikan buku-buku yang menunjang proses belajar mengajarnya di sekolah. Dengan ditumpuk dalam jumlah besar sekaligus, dikhawatirkan tunjangan itu justru digunakan pada hal-hal lain yang tidak berkorelasi sama sekali dengan aktivitas pendidikan," katanya.(LHS/T007)