Oleh M. Irfan Ilmie
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Buleleng sudah berlalu, perkiraan akan terjadi rusuh pun ternyata hanya isu.
Pemungutan suara pada 22 April 2014 berjalan lancar sehingga pihak kepolisian pun membubuhi stempel "Aman dan Terkendali" pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Buleleng.
Kalau pun terjadi peristiwa kebakaran Pasar Mumbul, Singaraja, pada Minggu dini hari itu atau empat jam sebelum pemungutan suara, polisi tidak melihatnya sebagai upaya penggagalan pilkada.
Situasi politik di kabupaten paling utara Pulau Bali itu hingga saat ini terpantau kondusif. Paling tidak, temperaturnya tidak setinggi pada masa-masa menjelang kampanye pasangan calon.
Masyarakat Kabupaten Buleleng mengalami "political fatigue" setelah hampir dua tahun diterpa gonjang-ganjing politik sepeninggal Putu Bagiada yang sudah dua periode menduduki singgasana.
Alhasil, Pilkada Buleleng yang diikuti oleh empat pasangan calon, yakni Gede Ariadi-Wayan Arta (Partai Golkar, PKPB, PAN); Tutik Kusuma Wardhani- Komang Nova Sewi Putra (Partai Demokrat); Putu Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra (PDIP, PKB, PKS, dan PNI Marhaenisme); dan Gede Wenten Suparlan-Ida Bagus Djodhi (Hanura-Den Bukit) berlangsung lancar.
Pilkada itu mengantarkan Putu Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra sebagai Bupati dan Wakil Bupati Buleleng periode 2012-2017. Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Kabupaten Buleleng, kader PDIP itu meraup 54,80 persen suara. Perolehan suara PAS-Suci itu sekaligus membenamkan ambisi Bupati Bagiada untuk membangun dinasti di Bumi Panji Sakti itu.


Bapak dan Anak


Bagiada yang duduk di singgasana dalam satu dekade tidak menyadari sepenuhnya bahwa kecintaan rakyat kepadanya didasari oleh pemikiran ideologis.
Dua periode bertahta sebenarnya juga berkat dukungan elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan kepada Bagiada.
Di sinilah episode awal kegagalan Bagiada. Dia tak rela yang duduk di singgasananya nanti adalah orang lain. Dia berusaha meniru koleganya, I Nyoman Adi Wiryatama yang sukses memberikan tampuk kekuasaanya di Kabupaten Tabanan kepada anaknya sendiri, Ni Putu Eka Wiryastuti dalam pilkada pada 2010.
Bagiada pun melobi pucuk pimpinan PDIP di jajaran pengurus pusat. Namun, lobi itu tak membuahkan hasil. Bermodalkan popularitas dan kekayaan, Bagiada berpikir bahwa penolakan PDIP bukan berarti "kiamat". Masih ada Partai Golkar yang mau menerima anaknya, Gede Ariadi, sebagai calon Bupati Buleleng.
Usia Ariadi yang relatif muda bukan alasan bagi Bagiada karena dia bisa meminta I Wayan Arta yang duduk di jajaran pimpinan DPRD Kabupaten Buleleng bisa mendampinginya sebagai wakil bupati.
Demikian juga untuk mendekatkan anaknya kepada rakyat, bukan persoalan karena Bagiada sudah cukup berpengalaman.
Hampir setiap hari kebijakan populis Bagiada, seperti membagi-bagikan dana bantuan sosial, membangun rumah kumuh, menyantuni korban bencana, mengangkat tenaga honorer, dan memberikan tali asih kepada pensiunan dan purnawirawan menghiasi halaman pemberitaan sejumlah media massa demi sang putra mahkota.
Pejabat yang dianggapnya loyal, diberikan kedudukan yang lebih tinggi. Sebaliknya yang tak setuju dengan kebijakannya, disingkirkannya tanpa diberi kesempatan berpikir.
Ia tak peduli pejabat yang disingkirkannya itu meradang dan menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Nagara (PTUN) di Denpasar.
Popularitas Golkar pada akhir 2011 hingga awal 2012 berdasarkan hasil polling lembaga survei membawa angin segar bagi Bagiada. Ke mana pun dia pergi, selalu mendapat simpati dari rakyatnya, meskipun simpati itu tidaklah bersifat mutlak.
Hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 8-11 April 2012 menyebutkan bahwa sekitar 70 persen responden di Kabupaten Buleleng menyatakan puas atas kepemimpinan Bagiada. Namun 70 persen responden itu tidak setuju pembentukan dinasti.
"Kekuatan 'incumbent' memang bagus, akan tetapi tidak berbanding lurus dengan anaknya," kata Manajer Strategi Kampanye JSI, Herujito.
Apalagi, ideologi politik masyarakat Kabupaten Buleleng yang sudah mendarah daging dengan partai nasionalis seperti PDIP sulit diubah.
Bahkan dalam survei JSI yang dilakukan 11 hari menjelang pilkada itu menempatkan PDIP sebagai pemenang dengan 44 persen suara, sedangkan Golkar hanya 10 persen.
"Artinya, kalau pemilu digelar pada hari itu, maka PDIP-lah yang akan jadi pemenangnya di Kabupaten Buleleng," kata Herujito.
Perolehan suara Ariadi-Arta yang hanya 22,72 cukup untuk mengantarkannya ke posisi kedua di atas raihan suara Tutik-Nova (21,61 persen) dan Suparlan-Djodhi (0,87 persen).
Sayangnya, dalam pilkada tidak diatur bahwa peserta yang menduduki urutan kedua (runner-up) mendapatkan medali perak atau hadiah lainnya.(*/T007)
Kegagalan Bagiada, Peringatan Dini Bagi Golkar
Senin, 30 April 2012 15:55 WIB