Denpasar (ANTARA) - Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan "working from Bali" potensial dikembangkan di Pulau Dewata, di tengah kondisi pandemi COVID-19 sebagai salah satu bentuk tujuan wisata baru.
"Pandemi COVID-19 ini adalah momentum yang tepat, karena pandemi ini di sisi lain menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru, bekerja tidak melulu dari kantor. Bekerja dengan lebih sehat, lebih fresh, tanpa perlu pusing sewa kantor atau berdesakan di lift," kata Wagub yang akrab dipanggil Cok Ace itu saat membuka Webinar series #5 dengan tajuk "Road Map to Bali Next Normal Imagine Working From Bali, Why Not" di Denpasar, Jumat.
Webinar itu diikuti peserta dari berbagai "stakeholder" pariwisata dari berbagai negara. Webinar yang sudah memasuki edisi kelima ini secara umum bertujuan untuk mencari solusi kesiapan dan Langkah-langkah strategis Bali sebagai destinasi wisata pasca pandemi COVID-19.
"Bicara masalah 'working from Bali' atau bekerja dari Bali, saya jadi teringat cerita seorang warga negara Prancis yang dalam jangka waktu setahun bisa dua kali berkunjung ke Bali dalam rentang waktu yang cukup lama. Ternyata dirinya memang sengaja bekerja dari Bali, tinggal di Bali untuk mengurus perusahaannya dengan modal laptop kecil, dan teras villa sederhana di Ubud," ucap Cok Ace.
Dari cerita itu, dia berpandangan "working from Bali" bisa dilakukan. Peluang ini bisa dikembangkan sebagai tujuan wisata baru di Bali, yakni dengan mengembangkan "working space" yang memadai bagi para turis seperti ini.
Menurut Cok Ace, Bali punya modal besar untuk hal tersebut. Pertama, udaranya relatif bersih dengan cuaca yang stabil sepanjang tahun. Lalu , pemandangan memukau, pasir putih, langit biru, merupakan perwujudan "bersih" yang sesungguhnya.
"Bali juga punya sisi kesehatan yang baik, dimana suasananya lebih fresh sehingga pikiran bisa jauh dari stres. Pikiran lebih mudah dikendalikan dan tentunya lebih bermanfaat dalam bekerja secara lebih produktif. Bali juga relatif lebih terjangkau dari segi biaya hidup, dibandingkan negara lain," ujarnya.
Yang tidak kalah penting, lanjut Cok Ace, Bali memiliki vibrasi tersendiri, suatu "healing power" yang diperoleh dari beragam upacara yang dilaksanakan hampir setiap hari. Memberikan ketenangan bagi siapapun.
Dalam aspek keamanan dan kenyamanan, masyarakat Bali sangat terkenal dengan keramahan, hospitality-nya. Orang Bali sangat menerima perbedaan dan asalkan tidak menimbulkan ketersinggungan maka akan sangat mudah orang luar untuk nyaman di Bali.
Dari sisi infrastruktur, Bali sedang giat membangun dan menyempurnakan segala akses transportasi baik darat, laut dan udara. Pembangunan juga kini menyasar kawasan Bali utara dan Bali barat, dengan jalan tol serta penyempurnaan bandara dan Pelabuhan. Pelabuhan Benoa misalnya, disiapkan untuk menampung kapal cruise berukuran besar dengan fasilitas memadai.
"Potensi luar biasa ini, sangat berpeluang untuk dikembangkan, dengan menyasar para pekerja yang kini lazim disebut 'digital nomad'. Namun, tentu saja, masih ada beberapa hal lain yang patut disempurnakan seperti akses internet yang lebih cepat dan stabil," ujar pria yang juga Ketua PHRI Bali itu.
Menurutnya beruntung sebagian besar wilayah Bali bukan merupakan "blind spot" sehingga memudahkan akses internet. Bali juga punya program "Bali Smart Island? sehingga di masa mendatang, tidak akan ada lagi kawasan di Bali yang tidak tersentuh akses internet.
Cok Ace menambahkan, yang juga perlu dirancang diastem visa yang bersifat "long stay" dengan syarat-syarat tertentu. "Sekali lagi, jika kita cerdas menciptakan Bali sebagai 'working space' untuk para pekerja dari mancanegara, mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar dunia, maka ini adalah peluang besar," katanya.
Modal Bali
Dubes Indonesia Untuk China dan Mongolia Djauhari Oratmangun berpandangan senada bahwa Bali punya modal besar untuk program "Working from Bali" sesuai dengan pernyataan Wagub Bali.
"Bahkan sebenarnya sudah sejak lama, banyak wisatawan yang datang untuk bekerja sekaligus berwisata ke Bali. Tentu saja, internet yang stabil dan cepat akan jadi modal dasar untuk itu dan akan sangat baik jika dijalankan dengan program Bali Smart Island," katanya.
Dengan ditambah modal alam dan fasilitas di Bali, maka akan menjadi tempat kerja yang nyaman bagi "digital nomad" sekaligus memberikan pengalaman wisata tersendiri .
"Di China, sudah banyak perusahaan yang melihat Bali sebagai salah satu lokasi untuk 'working space', mulai dari perusahaan IT raksasa hingga e- commerce yang memang sudah memberikan keleluasaan bagi karyawannya untuk bekerja, dari manapun. Terlebih para 'digital nomad' ini punya kecenderungan spend money yang tinggi," kata Oratmangun.
Kedepannya, ujar dia, perlu juga promosi yang signifikan di negara-negara dengan perusahaan raksasa, untuk para pekerja kreatif, desainer, dan mereka yang tidak memerlukan kantor formal. "Jangan lupakan pula promosi lewat sosial media yang kini punya dampak sangat besar," ujarnya.
Paulus Herry Arianto, CEO Indonesia Bali Chapter mengatakan dampak pandemi COVID-19 yang menghasilkan kampanye "work from home" bisa dielaborasikan menjadi "working from Bali', karena nama Bali sebagai destinasi wisata dan Bali punya segala potensi untuk itu.
"Kenapa memilih Bali, para digital nomad’ sebenarnya sudah sejak lama memasukkan Bali sebagai salah satu pilihan utama untuk working space, karena cuacanya bagus, biaya hidup terjangkau, kaya sejarah dan tradisi serta dianggap punya aspek keamanan yang cukup," ucapnya.
Herry mengatakan Bali juga punya keunggulan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahnya yang sangat mendukung sektor pariwisata. Terlebih dalam visi Gubernur dan Wakil Gubernur saat ini, melihat sektor pertanian dan industry 4.0 sebagai pilar penting mendukung pariwisata.
"Bahkan dari salah satu survei kepada para pekerja dunia saat ini menunjukkan 78 persen ingin lebih fleksibel dalam tempat dan waktu kerja, 82 persen ingin kehidupan kerja yang lebih seimbang (less stress) dan 54 persen pekerja akan meninggalkan pekerjaannya saat ini jika memperoleh pekerjaan yang lebih fleksibel," ucapnya.
Berdasarkan pengamatan dan perhitungan dirinya, rata-rata para "digital nomad" ini minimal menghabiskan 1.300 dolar AS per bulan per orang, dan jika dihitung pertahun sama dengan 15.600 dolar AS.
"15.600 dolar AS jika angka ini dikalikan 100 ribu orang saja, maka potensinya mencapai 1,56 miliar dolar AS atau sebanding Rp21,4 triliun," kata mantan Bupati Gianyar itu.