Nusa Dua (Antaranews Bali) - Kampanye negatif minyak kelapa sawit dari negara-negara Barat, sampai juga ke Rusia, baik terkait lingkungan maupun kesehatan.
Hal itu dikemukakan Perwakilan Asosiasi Minyak dan Lemak Nabati Rusia Yulia Dementyeva dan wartawan tiga media Rusia yang ikut hadir pada konferensi internasional "14th Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) and 2019 Price Outlook" di Nusa Dua, Bali, 1-2 November 2018.
Menurut Yulia, masyarakat Rusia tidak terlalu peduli dengan isu lingkungan, namun sangat peduli pada masalah kesehatan terkait penggunaan minyak sawit untuk pangan.
"Kami mendapat informasi untuk mendapatkan minyak sawit murah, pengusaha menggunakan minyak sawit untuk bahan kimia yang juga digunakan untuk pangan," katanya.
Dampaknya ada kekhawatiran masyarakat Rusia menggunakan minyak sawit untuk pangan, karena terkait isu kesehatan tersebut.
Namun setelah datang ke Indonesia atas undangan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, dan kemudian diajak mengunjungi perkebunan dan industri minyak sawit, mereka menjadi paham bahwa produk kelapa sawit bisa diproduksi menjadi beragam kebutuhan yang berbeda dan banyak produk turunannya yang bisa dipakai untuk pangan maupun kebutuhan industri lain seperti kosmetik, sabun, dan lain-lain.
"Kami juga terkejut ternyata minyak sawit (minyak goreng kelapa sawit) juga banyak dijual di supermarket," kata Yulia.
Sementara itu, Alexander Gavrilenko dari National Agrarian Agency mengatakan kebutuhan minyak nabati di Rusia cukup tinggi, sebagian besar kebutuhan minyak nabati di Rusia dipasok dari minyak bunga matahari.
Kehadiran minyak sawit di Rusia menjadi alternatif minyak nabati dengan harga yang murah, namun kata dia, masih diragukan kesehatannya.
Pandangannya berubah ketika melihat langsung perkebunan dan proses pengolahan minyak sawit dan turunannya di Riau
"Saya akan menulis hal itu untuk diketahui masyarakat Rusia, bahwa produk ini (minyak sawit) memiliki banyak produk turunannya," ujar Alexander yang bekerja pada media khusus tentang pertanian, dengan kantor pusat di Rostov, Rusia.
Hal senada dikemukan Polina Kondrashina dari Interfax News Agency dan Artem Falchev dari Milknews. Mereka menilai kunjungan ke perkebunan dan pengolahan minyak sawit di Riau membuka wawasan mereka tentang minyak nabati unggulan Indonesia itu.
Menurut Artem yang bekerja pada media khusus terkait produk konsumsi harian, publik dan media di Rusia menilai industri produk konsumsi harian (dairy product) di Rusia menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku maupun emulsi hanya untuk mendapatkan harga murah dibandingkan lemak hewani (milk fat).
"Karena itu di Rusia, produk yang menggunakan lemak hewani dan lemak nabati khususnya minyak sawit diletakkan di tempat terpisah," katanya.
Koordinator Pensosbud KBRI di Moskow, Adiguna Wijaya yang mendampingi wartawan dari Rusia, mengatakan ekspor minyak sawit Indonesia ke Rusia terus meningkat dan memberi kontribusi kedua terbesar setelah permesinan.
Tahun lalu, ekspor minyak sawit dan turunannya ke Rusia mencapai 551 juta dolar AS dari total ekspor Indonesia ke Rusia yang mencapai 2,48 miliar dolar AS, sedangkan impor Indonesia dari Rusia sebesar 788,8 juta dolar AS.
Eropa akui ISPO
Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) mulai diakui masyarakat pengguna minyak sawit di kawasan Eropa, kata Kepala Sekretariat ISPO Azis Hidayat.
"ISPO mulai diakui Europe Sustainable Palm Oil (ESPO) sebagai sertifikasi untuk usaha minyak sawit berkelanjutan," katanya pada konferensi internasional 14th Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) & 2019 Outlook, di Nusa Dua, Bali.
Ia memperlihatkan dalam progress report ESPO, jumlah lahan sawit yang telah memiliki sertifikat ISPO pada 2017 dicantumkan sebesar 2,1 juta hektare.
Sementara itu, jumlah lahan yang memiliki sertifikat RSPO ( Roundtable Sustainable Palm Oil) mencapai 2,51 juta hektare dan MSPO (Malaysia Sustainable Palm Oil) sebesar 518.793 hektare.
"Melihat data itu jumlah lahan sawit yang memiliki sertifikasi berkelanjutan di Indonesia cukup besar," kata Azis.
Namun jumlah itu relatif masih kecil dibandingkan total lahan kelapa sawit yang mencapai sekitar 14 juta hektare di Indonesia.
Selain itu dari jumlah sertifikasi yang dikeluarkan pun terbilang sedikit.
Azis menyebutkan sampai Oktober 2018 total entitas mendaftar sertifikasi ISPO baru 675 unit terdiri dari 663 perusahaan, tujuh petani plasma, dan lima petani swadaya.
"Sampai sat ini kami telah menerima 545 laporan audit, 508 sudah terverifikasi dan yang telah mendapat sertifikasi 413 terdiri dari 407 perusahaan, tiga petani plasma dan tiga petani swadaya," katanya.
Jumlah tersebut, masih sangat sedikit, kata dia, dibandingkan ribuan entitas yang terlibat dalam industri kelapa sawit nasional.
Berdasarkan data Sekretariat ISPO, sejak mandatori ISPO pada 2011 hingga 30 Oktober 2018 baru 2,349 juta hektare lahan sawit yang tersertifikasi dengan total produksi minyak sawit mentah (CPO) mencapai 10,2 juta ton per tahun.
"Kami dapat memastikan bahwa ISPO merupakan jaminan standar pembangunan industri minyak sawit berkelanjutan kami mulai sekarang sampai akhir nanti," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud. (ed)
_____________
*) Risbiani Fardaniah adalah Redaktur Ekonomi LKBN ANTARA.