Denpasar (Antaranews Bali) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menyelenggarakan "Pasamuhan Madya III" (musyawarah daerah) untuk membahas persiapan ritual "Upacara Panca Wali Krama" di Pura Agung Besakih, kabupaten Karangasem tahun 2019.
Ketua Panitia "Pesamuhan Madya" PHDI Bali, I Wayan Pasek Sukayasa di Denpasar, Kamis, mengatakan "Upacara Panca Wali Krama" di Pura Besakih yang diadakan setiap 10 tahun merupakan rangkaian "upacara yadnya" terbesar kedua setelah upacara "Eka Dasa Rudra" (setiap 100 tahun), sehingga prosesi sejak awal hingga akhir menjadi perhatian umat Hindu, tak hanya di Bali tapi juga di berbagai daerah di Indonesia.
"Pesamuhan Madya fokus pada keputusan terkait 'Yasa Kertih Panca Wali Krama'. Antara lain kapan mulai dan berakhirnya 'cuntaka, larangan ngaben, pemuput yadnya, hingga nyejer sampai nyineb'. Yang jelas pelaksanaanya mengacu pada 'bhisama' PHDI," katanya.
Selama rangkaian "Upacara Panca Wali Krama" di Pura Besakih tersebut, kata Sukayasa, umat Hindu di Bali melakukan "yasa kerti" (penyiapan diri secara spiritual), terutama dalam bentuk kesiapan mental, kesucian hati, serta senantiasa menampilkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci.
Ia mengatakan dalam keputusan musyawarah daerah PHDI tersebut, salah satunya hal yang tak boleh dilakukan umat Hindu di Bali serangkaian "Panca Bali Krama" adalah upacara "ngaben"(kremasi jenazah).
Bahkan pada pelaksanaan "Panca Wali Krama tahun 2009", kata dia, batas waktu yang tidak dibolehkan "ngaben atau makingsan di gni" sejak 21 Februari hingga 27 April 2009.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran No: 054/MDP Bali/XI/2008. Atas dasar itu pula, sejumlah warga yang meninggal pada kurun waktu tersebut akan dilakukan prosesi penguburan pada petang hari yang salah satunya dilengkapi sarana obor.
Sementara itu, Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana menyebutkan bahwa upacara agung seperti "Panca Bali Krama" merupakan proses penyucian alam. Karenanya, selama batas waktu tertentu dilakukan proses "negtegan karya atau mapanyengker" agar peristiwa-peristiwa suci bisa dipertahankan guna mendukung kesuksesan penyelenggaraan karya agung tersebut.
Dikatakan, larangan melaksanakan "upacara pengabenan" serangkaian digelarnya "karya agung" itu tertuang dalam sejumlah lontar di antaranya "Lontar Bhama Kertih". Jadi, larangan pengabenan itu sudah tertuang dalam sastra-sastra agama.
"Untuk solusinya nanti diputuskan saat 'Pesamuhan Madya oleh Sulinggih'. Apa yang boleh dan tidaknya selama karya Panca Wali Krama," kata Ngurah Sudiana. (ed)