"Tentara mulai patah arang. Sudah berminggu-minggu, mereka tak bisa
menembus pertahanan musuh di pedalaman utara Pulau Halmahera".
Padahal, gerilyawan pembangkang itu sudah terkepung. Mereka tidak
bisa menyeberang mundur ke Pulau Morotai yang sudah dikuasai pasukan
Republik. Tetapi barisan darat yang seharusnya menyapu musuh dari
selatan, mati kutu tidak bisa maju, terhalang parit yang menjadi
benteng-benteng pertahanan petempur Perdjuangan Semesta (Permesta).
Pertempuran hampir berakhir remis itu memaksa beberapa perwira
mengenda-endap memutari posisi Permesta dari jalur laut menuju Pulau
Morotai di utara untuk meminta bantuan dari udara.
Di antara rombongan misi rahasia itu terdapat Saleh Kamah.
Sesampainya di tujuan, dia langsung menggambarkan kedudukan lawan dalam
peta sederhana. Ancar-ancar Saleh itu menjadi panduan pesawat Mustang
milik pemerintah dalam menyerang persembunyian Permesta di Halmahera
utara dan terbukti mengubah perimbangan kekuatan.
Beberapa bulan kemudian, pada Agustus 1958, gerombolan Permesta tumpas, sementara komandannya menyerah.
Saleh, penggambar peta sederhana berjasa besar pada keutuhan
Republik itu, bukan prajurit, apalagi perwira. Saleh adalah wartawan
Antara.
Kisah ini terurai secara gamblang di halaman 74-75 buku berjudul
"80" yang diluncurkan pada puncak peringatan 80 tahun atau 10 windu
Kantor Berita Antara di Auditorium Adhyana Wisma Antara Jakarta, 13
Desember 2017. Buku yang ditulis para wartawan muda dan senior ini
menguraikan peran kantor berita ini sejak 13 Desember 1937 dan kisah
Saleh Kamah adalah satu dari beribu dan berjuta kisah selama kurun 80
tahun keberadaan Kantor Berita Antara.
Pada buku setebal 184 halaman ini, sebagian kisah itu dinukil
kembali dengan riset data dan foto sejarah yang dimiliki Antara. Karena
itu, membaca buku ini tak ubahnya membaca sejarah perjuangan Indonesia
merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari sisi pandang yang agak
berbeda, khususnya dari peran wartawan kantor berita.
Empat Sekawan
Setiap kisah memiliki awal. Setiap
perjuangan membutuhkan tekad dan tentu dengan sedikit nekat di
sana-sini. Demikian pula dengan lahirnya sebuah kantor berita yang
bermula dari medan perjuangan melawan penjajahan Belanda
Dimulai dari semangat juang empat sekawan, yakni Adam Malik, Pandoe
Kartawigoena, AM Sipahoetar dan Soemanang Soeriowinoto, kisah ini
bermula, kemudian mengiringi perjalanan Republik Indonesia hingga kini.
Namun tidak semua orang tahu, bahkan yang tahu pun semakin sedikit,
sementara anak-anak muda semakin terjejali berbagai informasi dan tampil
dengan gaya hidup tersendiri sehingga dikhawatirkan lupa sejarah
bangsanya, maka kehadiran buku ini menggugah dan mengingatkan kembali
kisah sejak 80 tahun lalu.
Itulah sebabnya, buku ini layak dibaca dan menjadi referensi bagi
siswa dan mahasiswa serta masyarakat umum. Bahkan juga patut menjadi
rujukan bagi jajaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, peneliti
sejarah, akademisi dan politisi dalam mencermati sejarah bangsa.
Mengapa mesti ada kantor berita di era perjuangan jika makan saja
susah? Bukankah perjuangan itu lebih membutuhkan fisik dan pikiran serta
dukungan logistik serta perlengkapan perang? Apa urgensinya mendirikan
kantor berita?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pun muncul sejak 80 tahun lalu dan
kadang muncul pula di era saat ini. Pertanyaan yang tidak aneh tetapi
jawabannya sederhana, yakni karena perjuangan kemerdekaan di negara
manapun harus didengungkan ke seluruh penjuru mata angin.
Dalam bahasa kekinian; perjuangan kemerdekaan harus "diviralkan"
agar dunia tahu bahwa di tengah penguasaan penjajahan Belanda dan
kemudian Jepang, ada orang-orang yang berjuang keras untuk mewujudkan
kemerdekaan bagi bangsanya. Inilah yang menjadi tekad kuat empat pemuda
belia itu.
Di bilik sempit dan pengab Struiswijk, penjara di daerah Salemba,
Jakarta, dua dari mereka berbagi angan-angan. Usia mereka boleh jadi
baru 19 dan 20 tahun, tetapi kehidupan keras dalam penindasan penjajahan
Belanda membuat Adam Malik Batubara, anak pedagang kaya dari Pematang
Siantar, dan Pandoe Kartawigoena tidak asing dengan dunia pergerakan
nasional. Tidak asing pula dengan penjara.
Berkat dinding lembab penjara Struiswijk atau yang kemudian dikenal
sebagai Gang Tengah Salemba itu, bukan hanya persahabatan yang bersemi.
Pemikiran besar juga memiliki waktu untuk mekar (halaman 1).
Adam Malik yang juga Ketua Cabang Partai Indonesia (Partindo)
Pematang Siantar diciduk kemudian harus menghuni penjara Salemba karena
dituduh melakukan gerakan gelap yang dijalankan Partai Indonesia (PARI),
gara-gara kenal dengan pemimpin inti partai itu, Yahya Nasution.
Namun di Gang Tengah Salemba, Adam justru mengaku mendapat "ramuan"
baru. Setahun kemudian, pada 1936, dua pemuda itu bebas. Suasana politik
Jakarta belum berubah, tetapi dua pemimpi besar itu sudah lepas dari
sangkar.
Pada Mei 1937, Adam dan Pandoe dipertemukan oleh pimpinan Partai
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dengan Soemanang dan AM Sipahoetar.
Dari segi usia, waktu itu Adam masih berumur 20 tahun, Sipahoetar (23),
Pandoe (21) dan Soemanang 29 tahun.
Persahabatan dan pertemuan yang intensif di antara mereka akhirnya
melahirkan kesepakatan mengenai pembentukan sebuah kantor berita yang
menyuplai berita ke semua media di Jakarta dan daerah serta
memviralkannya ke dunia internasional. Mereka pun sepakat dengan nama
"Antara" sebagai kantor berita.
Nama "Antara" tercetus di Jalan Raden Saleh 2 Cikini, Jakarta
Pusat, kediaman Soemanang yang juga menjadi pondokan bagi beberapa anak
muda lainnya, termasuk Armin Pane, adik Sanoesi Pane. Waktu itu adalah
tanggal 13 Desember 1937.
Tujuan pembentukan kantor berita ini adalah mengimbangi pemberitaan
yang disampaikan "Aneta", kantor berita milik penjajah Belanda, yang
berita-beritanya merugikan para pejuang kemerdekaan.
Berpindah-pindah
Setelah sepakat mendirikan Kantor
Berita Antara, Adam Malik kemudian mencari tempat untuk kantor Antara.
Adam berhasil mendapatkan ruangan di rumah Yahya Nasution di
Buitentigerstraat yang kini dikenal dengan Kawasan Pinangsia, Kota Tua,
yang tadinya merupakan kantor ekspedisi Pengharapan milik Yahya.
Seiring waktu dan perkembangan situasi perjuangan, Kantor Antara pun
pernah berpindah-pindah tempat. Ini menunjukkan bukti bahwa kantor
berita ini lahir di tengah perjuangan dan di saat para pejuang
kemerdekaan melakukan gerilya.
Setelah dari Kota Tua, kemudian pernah di Jalan Budi Kemuliaan Tanah
Abang dan kemudian di Pasar Baru. Pada saat Jepang menjajah Indonesia,
Kantor Berita Antara pun dikuasai, bahkan diganti nama menjadi "Domei".
Di dalam buku ini tertulis bahwa meski namanya menjadi "Domei"
tetapi semangat juang seluruh jajarannya tetap "Antara". Baju boleh
"Domei" tetapi jiwa dan hatinya Antara.
Itu terbukti pada 17 Agustus 1945. Orang-orang Antara memperoleh
momentum terbaik sepanjang 80 tahun keberadaaannya ketika berhasil
meloloskan informasi mengenai pernyataan Proklamasi Kemerdekaan pada 17
Agustus 1945. Meski bekerja dengan nama Kantor Berita "Domei" tetapi
menyiarkan berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang
naskahnya telah diperoleh sejak subuh setelah mengikuti serangkaian
pertemuan rahasia para tokoh dan pejuang Indonesia.
Adam Malik dari persembunyiannya di Jalan Bungur Besar Jakarta
berhasil menelepon redaksi Antara pada 17 Agustus 1945 pagi untuk
memberitahu bahwa Indonesia sudah merdeka. Adam kemudian mendiktekan
naskah (teks) proklamasi yang dibacakan Ir Soekarno dan Muhammad Hatta
di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Adam meminta berita itu sesegera mungkin disiarkan dengan strategi
terlebih dahulu mengelabui atau tanpa melalui Hodohan. Hodohan adalah
alat militer Jepang yang tugasnya melakukan sensor terhadap informasi
yang akan disiarkan Antara.
Naskah proklamasi itu berhasil lolos masuk radiogram "Domei" sekitar
pukul 10 pagi ketika penjagaan oleh militer Jepang atas seluruh kerja
"Domei" longgar karena memasuki jam makan siang. Jam makan siang bagi
militer Jepang adalah jam 10 pagi atau sekitar jam 12 siang waktu
Jepang.
Pemerintah Jepang yang kalang-kabut dengan informasi yang disiarkan
orang-orang Antara melalui "Domei" kemudian melakukan operasi pengamanan
ke kantor Pasar Baru. Tujuannya jelas, menangkap orang-orang Antara,
terutama Adam Malik, kemudian membuat ralat bahwa berita Proklamasi
Kemerdekaan adalah tidak benar.
Tetapi tentara Jepang tidak menemukan Adam Malik. Para wartawan yang
sedang di kantor pun menolak membuat ralat, kemudian mereka
"menghilang" (menyelamatkan diri). Akhirnya orang Jepang bernama Tanabe
membuat ralat dan menyiarkannya, namun sudah terlambat karena informasi
kemerdekaan sudah telanjur viral ke seluruh dunia.
Pertarungan Ideologi
Namun
kisah itu bukan akhir dari berlikunya kenyataan yang harus dijalani
orang-orang Antara dalam menjalankan profesi dan tugasnya di kantor
berita. Dalam Bab 6 "Mengapung Di Samudera Kelam" diuraikan adanya badai
dahsyat menghantam Indonesia, 20 tahun setelah pencapaian kemerdekaan.
Benturan keras antarsesama anak bangsa tidak terhindarkan yang
dipicu penculikan dan pembunuhan terhadap petinggi tentara pada 30
September 1965. Antara berada di pusat besar dan kencang itu serta harus
menerima kenyataan tidak boleh siar selama lima hari, sedangkan koran
terkena larangan terbit selama enam hari.
Namun Antara telah berhasil memberitakan adanya peristiwa pembunuhan
itu pada siang 1 Oktober 1965 sebelum akhirya dihentikan sementara
untuk meredam situasi. Ketegangan yang berawal dari perbedaan ideoloi
juga terjadi di internal Antara yang kemudian dilakukan konsolidasi
sebelum diizinkan kembali untuk melakukan tugasnya sebagai kantor
berita.
Masa konsolidasi itu tampaknya menjadi momentum bagi Antara untuk
meneguhkan jati diri sebagai kantor berita yang ikut membidani lahirnya
kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan di tengah perumusan Pancasila
pada 18 Agustus 1945, tokoh-tokoh Antara hadir dan mengiringi sekaligus
memberi peran penting untuk lahirnya ideologi negara.
Dengan peran itu dan kepesertaannya dalam semua dinamika sejak
sebelum kemerdekaan, tak berlebihan kiranya menyatakan Antara juga
sebagai pemegang saham republik ini. Kemudian bersama-sama elemen bangsa
lainnya di negeri ini mengawal, mengisi dan mewarnai perjalanan bangsa
ini ke depan dengan langkah-langkah yang positif dan produktif.
Peran itu mengingatkan setiap gerak dan langkahnya untuk tetap
menjaga jati diri yang tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri, tetapi
teguh dengan kepribadian Pancasila. Dinamika masyarakat di tengah
globalisasi saat ini menempatkan Pancasila berada pada tantangan yang
semakin kompleks atau beragam dan membutuhkan peran Antara bersama-sama
elemen bangsa lainnya di negeri ini untuk menjaganya.
Dengan kematangan, pemahaman dan pengalaman sejarah yang telah
dilaluinya selama 80 tahun, diyakini hal itu bisa dilakukan dan akan
terus dilakukan Antara sebagai sebuah janji. Seperti "Janji Suci" yang
dilantunkan Yovie-Nuno dalam konser mini di Auditorium Adhyana pada 13
Desember 2017. (WDY)
Simak Juga: Video Profil ANTARA Biro Bali 1945-2017
Resensi buku - "80" ; janji ANTARA tidak lelah mengabdi
Senin, 22 Januari 2018 9:04 WIB